0
KEDUDUKAN HARTA DALAM ISLAM
ZAILANI
A. Pendahuluan
Harta adalah sesuatu yang sangat penting bagi manusia, tanpa harta hidup terasa hampa begitulah kata pepatah. Yah, harta memang mutlak diperlukan manusia karena dengan harta manusia akan dihormati, dengan harta manusia bisa makan dan memberi makan anak dan istri, dengan harta manusia bisa membeli dan memiliki apa saja yang ia inginkan di dunia. Dan tanpa harta manusia seringkali dilecehkan, dihinikan, bahkan sampai ada orang yang gila dan bunuh diri karena tidak mempunyai harta.
Tetapi apakah harta adalah segalanya. Ternyata tidak harta bukanlah segalanya karena harta tidak bisa membeli kebahagiaan dan keimanan. Dalam konteks ekonomi Islam harta yang kita miliki sebenarnya bukanlah miliki kita tetapi milik Allah swt, dan kita hanya sekedar dititipi belaka.  Harta yang Allah titipkan kepada kita itu di dalamnya terdapat hak-hak fakir, miskin, yatim, dll. Yang harus kita pedulikan. Sehingga di dalam ekonomi Islam harta itu mempunyai peran yang sangat besar baik peran dalam hal individu, sosial, maupun dengan lingkungan sekitar.
Harta dalam pengertian yang sangat luas, tidak hanya mencakup sesuatu yang mati, tapi lebih dari itu seperti  anak dan istri itu juga merupakan harta. Namun kajian yang sederhana ini tidak mencakup kesana,  bahasan dalam makalah ini ingin menjelaskan harta secara islami.  Harta yang dimiliki apa-apun bentuknya, harus terhindar dari unsur-unsur yang dapat merusak harta tersebut, baik dalam bentuk fisiknya  atau dalam bentuk manfaatnya. Oleh karena itu  untuk mendapatkannyapun harus dengan cara-cara yang benar. Jangankan  dengan cara-cara yang haram, yang subhatpun harus dihindari, sebagai upaya untuk membersihkan harta tersebut dari hal yang dapat mengotori jiwa si pemiliknya.
Oleh karena pentingnya harta itu, maka saya sebagai penulis ingin mencoba menganalisis bagaimana ekonomi Islam memandang harta, yang akan penulis jelaskan dalam malakah ini. Jadi  konomi Islam dibangun dengan fondasi yang benar, selanjutnya kemapanan ekonomi tersebut tidak dimonopoli oleh segelintir orang tapi mengalir  kepada yang membutuhkannya sebagai upaya  penguatan ekonomi umat  Islam.
B.  Pengertian Harta
Pengertian harta (maal) dalam bahasa Arab ialah apa saja yang dimiliki manusia. Kata maal itu sendiri berakar dari kata dan frase: مول ، ملت ، لت تموّ ، تمو
sebagaimana Rasulullah bersabda dalam sebuah Hadits:” Sebaik-baik maal ialah yang berada pada orang yang saleh.” (Bukhari dan Muslim)[1].Pengertian  harta secara Istilah Madzhab Hanafiyah:[2] Semua yang mungkin dimiliki, disimpan dan dimanfaatkan. Dua unsur menurut madzhab: 1. Dimiliki dan disimpan 2. Biasa dimanfaatkan dan menurut. Jumhur Fuqaha; Setiap yang berharga yang harus diganti apabila rusak, menurut Hambali: apa-apa yang memiliki manfaat yang mubah untuk suatu keperluan dan atau untuk kondisi darurat. Imam Syafii: barang-barang yang mempunyai nilai untuk dijual dan nilai harta itu akan terus ada kecuali kalau semua orang telah meninggalkannya (tidak berguna lagi bagi manusia). Ibnu Abidin[3]: segala yang disukai nafsu atau jiwa dan bisa disimpan sampai waktu ia dibutuhkan. As Suyuti dinukil dari Imam Syafii: tidak ada yang bisa disebut mal (harta) kecuali apa-apa yang memiliki nilai penjualan dan diberi sanksi bagi orang yang merusaknya.[4]
C.  Islam Memandang Harta
Islam memandang harta dengan acuan akidah yang disarankan Al-Qur’an, yakni dipertimbangkannya kesejahteraan manusia, alam, masyarakat dan hak milik. Pandangan demikian, bermula dari landasan iman kepada Allah, dan bahwa Dia-lah pengatur segala hal dan kuasa atas segalanya. Manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya karena hikmah Ilahiah. Hubungan manusia dengan lingkungannya diikat oleh berbagai kewajiban, sekaligus manusia juga mendapatkan berbagai hak secara adil dan seimbang.
Kalau harta seluruhnya adalah milik Allah, maka tangan manusia hanyalah tangan suruhan untuk jadi khalifah. Maksudnya manusia adalah khalifah-khalifah Allah dalam mempergunakan dan mengatur harta itu. Ada tiga asas pokok tentang harta dalam ekonomi Islam, yaitu:[5]a. Allah Maha Pencipta, bahwa kita yakin semua yang ada di bumi dan di langit adalah ciptaan Allah.b. Semua harta adalah milik Allah. Kita sebagai manusia hanya memperoleh titipan dan hak pakai saja. Semuanya nanti akan kita tinggalkan, kita kembali ke kampung akhirat.c. Iman kepada hari Akhir. Hari Akhir adalah hari perhitungan, hari pembalasan terhadap dosa dan pahala yang kita perbuat selama mengurus harta di dunia ini. Kita akan ditanya darimana harta diperoleh dan untuk apa ia digunakan, semua harus dipertanggungjawabkan.
D.  Pengelolaan Harta Dalam Islam
Ada 3 poin penting dalam pengelolaan harta kekayaan dalam Islam (sesuai Al-Qur’an dan Hadits); yaitu:[6] 1. Larangan mencampur-adukkan yang halal dan batil. Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Fajr (89): 19; ”Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil)”2. Larangan mencintai harta secara berlebihan Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Fajr (89): 20; ”Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” 3.”Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram darahnya, hartanya dan kehormatannya” (hadits Muslim). Dalam Al-Quran surat Al-Hadiid (57):7 disebutkan tentang alokasi harta.
Artinya :”Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu ’menguasainya’. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu akan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (Q.S. Al Hadiid : 7)[7]
Yang dimaksud dengan menguasai disini ialah penguasaan yang bukan secara mutlak. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, hak milik pada hakikatnya adalah milik Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah. Karena itu tidak boleh kikir dan boros. Belanja dan konsumsi adalah tindakan yang mendorong masyarakat berproduksi sehingga terpenuhinya segala kebutuhan hidupnya. Jika tidak ada manusia yang bersedia menjadi konsumen, dan jika daya beli masyarakat berkurang karena sifat kikir melampaui batas, maka cepat atau lambat roda produksi niscaya akan terhenti, selanjutnya perkembangan bangsa akan terhambat.
Islam mewajibkan setiap orang membelanjakan harta miliknya untuk memenuhi kebutuhan diri pribadi dan keluarganya serta menafkahkan di jalan Allah. Dengan kata lain Islam memerangi kekikiran dan kebakhilan. Larangan kedua dalam masalah harta adalah tidak berbuat mubadzir kepada harta karena Islam mengajarkan bersifat sederhana. Harta yang mereka gunakan akan dipertanggungjawabkan di hari perhitungan. Sebagaimana seorang muslim dilarang memperoleh harta dengan cara haram, maka dalam membelanjakannya pun dilarang dengan cara yang haram. Ia tidak dibenarkan membelanjakan uang di jalan halal dengan melebihi batas kewajaran karena sikap boros bertentangan dengan paham istikhlaf harta majikannya (Allah).
 Norma istikhlaf adalah norma yang menyatakan bahwa apa yang dimiliki manusia hanya titipan Allah. Adanya norma istikhlaf ini makin mengukuhkan norma ketuhanan dalam ekonomi Islam. Dasar pemikiran istikhlaf adalah bahwa Allah-lah Yang Maha Pemilik seluruh apa dan siapa yang ada di dunia ini: langit, bumi, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, batuan, dans ebagainya, baik benda hidup ataupun mati, yang berpikir ataupun tidak bepikir, manusia atau nonmanusia, benda yang terlihat ataupun tidak terlihat
Islam membenarkan pengikutnya menikmati kebaikan dunia. Prinsip ini bertolak belakang dengan sistem kerahiban Kristen, Manuisme Parsi, Sufisme Brahma, dan sistem lain yang memandang dunia secara sinis. Sikap mubadzir akan menghilangkan kemaslahatan harta, baik kemaslahatan pribadi dan orang lain. Lain halnya jika harta tersebut dinafkahkan untuk kebaikan dan untuk memperoleh pahala, dengan tidak mengabaikan tanggungan yang lebih penting. Sikap mubadzir ini akan timbul jika kita merasa mempunyai harta berlebihan sehingga sering membelanjakan harta tidak untuk kepentingan yang hakiki, tetapi hanya menuruti hawa nafsunya belaka. Allah sangat keras mengancam orang yang berbuat mubadzir dengan ancaman sebagai temannya setan.[8]
Muhammad bin Ahmad As-Shalih mengemukakan jika Islam telah melarang berlaku boros, maka Islam juga telah menetapkan balasan bagi orang yang menghamburkan harta kekayaan, yaitu mencegahnya dari membelanjakan harta tersebut. Inilah yang disebut hajr. Menurut para fuqaha, hajr adalah mencegah seseorang dari bertindak secara utuh oleh sebab-sebab tertentu. Di antara sebab-sebab itu adalah kecilnya usia sehingga harta itu tidak musnah karena kecurangan, tipu muslihat, dan tindakan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.[9]Ada beberapa ketentuan hak milik pribadi untuk sumber daya ekonomi dalam Islam :[10]
  1. Harta kekayaan harus dimanfaatkan untuk kegiatan produktif (melarang penimbunan dan monopoli);
  2. Pembayaran zakat serta pendistribusian (produktif/konsumtif).
  3. Penggunaan yang berfaidah (untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan material-spiritual).
  4. Penggunaan yang tidak merugikan secara pribadi maupun secara kemasyarakatan dalam aktivitas ekonomi maupun non ekonomie. Kepemilikan yang sah sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah dalam aktifitas transaksi ekonomi.
E.  Fungsi Harta
Fungsi harta bagi manusia sangat banyak. Harta dapat menunjang kegiatan manusia, baik dalam kegiatan yang baik maupun yang buruk. Oleh karena itu, manusia selalu berusaha ntuk memiliki dan menguasainya. Tidak jarang dengan memakai beragam cara yang dilarang syara’ dan hukum negara, atau ketetapan yang disepakati oleh ulama.
Dalam pembahasan ini, akan dikemukakan fungsi harta yang sesuai dengan ketentuan syara’, antara lain untuk :[11]
  1. Kesempurnaan ibadah mazhah, seperti shalat memerlukan kain untuk menuup aurat.
  2. Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah set. Sebagai kefakiran mendekatkan kepada kekufuran.
  3. Meneruskan setafet kehidupan, agar tidak meninggalkan generasi lemah.
  4. Menyelaraskan kehidupan dunia dan akherat.
F. MACAM-MACAM HARTA

Harta terbagi menjadi berbagai macam tergantung dengan orientasi pembagiannya. Di antara bentuk klasifikasi tersebut adalah:
Harta sebagai Nilai Tukar dan Sebagai Alat Barter
Dalam warisan ilmu fiqih yang kita miliki, penggunaan kedua terminologi amat populer dalam bab-bab adab pergaulan. Apa arti kedua istilah tersebut? Alat barter memiliki padanan yang tersebar di pasar tanpa ada perbedaan yang berarti dalam penggunaannya. Ada yang berbentuk barang takaran, barang timbangan, barang bilangan, yang masing-masingnya tidak memiliki perbedaan nilai, contohnya seperti berbagai macam biji-bijian, telur dan kain tenunan dan sejenisnya.
Sementara nilai tukar tidak ada yang sejenisnya di pasaran. Kalaupun ada, nilainya jelas berbeda, seperti hewan, batu-batu mulia dan sejenisnya. Konsekuensi pembedaan antara nilai tukar dengan alat barter adalah munculnya banyak hukum-hukum, kita sebutkan sebagian di antaranya:
Alat barter (nilai riil) itu harus diganti dengan yang sama dengannya ketika terjadi kecurangan. Lain halnya dengan nilai tukar (nilai nominal), cukup ditukar dengan yang senilai dengannya saja. Alat barter bisa menjadi hutang dan dibayar dengan benda sejenis lainnya, karena ia bisa digambarkan bentuknya, sesuai dengan nilai riilnya. Sementara nilai tukar hanya bisa digambarkan dengan wujud dan nilainya saja, atau sesuai dengan nilai nominal yang disepakati.

G. Harta Diam dan Harta Bergerak
Dalam syariat, harta juga terbagi menjadi dua: Harta diam dan harta bergerak (seperti uang).
  1. Harta tetap
Harta tetap adalah harta yang tidak mungkin dipindahkan seperti tanah dan yang melekat dengan tanah, seperti bangunan permanen.
  1. Harta bergerak
Harta bergerak adalah yang dapat dengan cepat dipindahkan dan dialihkan. Menurut kalangan Hanafiyah yang termasuk harta diam hanya tanah saja. Namun menurut kalangan Malikiyah pengertiannya bisa meluas kepada segala yang melekat dengan tanah secara permanen, seperti tanaman dan bangunan. Karena keduanya tidak mungkin dipindahkan kecuali harus diubah sehingga bangunannya menjadi hancur berkeping-keping, sementara tanamannya berubah menjadi kayu bakar.
Berdasarkan klasifikasi ini muncuk sejumlah hukum yang kami sebutkan sebagian di antaranya:
a.       Disahkannya menjual harta diam sebelum diserahterimakan menurut sebagian ulama, seperti Abu Hanifah dan Abu Yusuf, dan tidak sah menjual harta bergerak sebelum diserahterimakan, namun dalam aplikasinya ada sedikit perbedaan pendapat.
b.      Mendahulukan pembersihan harta bergerak sebelum harta diam ketika seseorang dalam keadaan bangkrut terlilit hutang.
c.       Tidak dibolehkannya menjual harta diam orang yang tercekal karena masih kecil atau karena idiot kecuali dalam kondisi darurat atau karena kemaslahatan yang pasti, atau karena kebutuhan mendesak. Sementara menjual harta bergerak dibolehkan untuk alasan kemaslahatan semata.
d.      Hak-hak tetangga teman dekat yang terkait dengan seseorang hanya harta diam, bukan harta bergerak.
e.       Adanya konsensus ulama tentang sahnya waqaf harta diam, namun ada perbedaan pendapat dalam harta bergerak.
f.       Adanya hak syuf’ah dalam harta diam, namun tidak pada harta bergerak, kecuali kalau digolongkan dalam harga diam sebagai lampiran.

H. Pembagian Harta
Menurut fuqaha,harta dapat ditinjau dari beberapa segi.Harta terdiri dari beberapa bagian tiap-tiap bagian memiliki ciri khusus dan hukumanya tersendiri . Pembagian jenis harta ini sebagai berikut.
  1. Harta mutaqawwim dan ghair mutaqawwim
a.       Harta mutaqawwim ialah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya menurut syara”. Harta yang  termasuk mutaqawwim ini ialah segala harta yangh baik jenisnya, baik pula cara memperoleh, dan penggunaanya. Misalnya, kerbau halal dimakan oleh umat Islam, tetapi kerbau ini disembelih tidak menurut syara’, misalnya dipukul, maka daging kerbau itu tidak dapat dimanfaatkan karena cara pnyembelihannya tidak sah menurut syara’[12]
b.      Harta ghair mutaqawwim ialah: Sesuatu yang tidak boleh diambil manfaatnya menurut syara’
  1. Harta Mistli dan harta qimi
  2. Harta istihlak dan harta isti’mal
  3. Harta manqul dan ghairu manqul
  4.  Harta ‘Ain dan dayn
  5. Harta Mamluk, mubah dan mahjuri
  6. Harta yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
  7. Harta pokok dan dan hasil
  8. Harta khas dan am’[13]
Untuk jenis-jenis harta ini akan  tidak bisa dijelaskan satu persatu, tapi akan diperdalam dalam bentuk makalah yang lain. Mudah-mudahan penjelasan yang sangat sederhana ini setidaknya memberikan gambaran secara comprehensive tentang  harta dalam pandangan Islam.





KESIMPULAN
Harta sebagai bagian dari perhiasan, sekaligus meningkatkan pamor seseorang yang memilikinya. Maka kerentanan yang terjadi adalah  apabila harta yang didapat dengan cara-cara yang salah.     Maka sudah sebaiknya  kepemilikan harta dalam Islam juga memberikan sebagian harta   kepada  orang lain  untuk tetap membersihkannya dan menghindari suatau prilaku menyimpang. Kemaslahantan yang didapat dari harta dapat meningkatkan taraf hidup umat Islam, sekaligus membangun citra yang positip terhadap pemeluknuya, yang  senantiasa melaksanakan ajaran Islam secara kaffah.
            Untuk itu  peranan umat Islam yang memiliki  harta sangat dimungkinkan untuk menigkatkan  kulaitas  kehidupan  sesama umat.  Disisi yang lain. Islam menganjurkan agar para pemeluknya untuk meraih apa-apa yang menjadi target yang dicita-citakan, khususnya, Islam tidak anti dunia dan kekayaan, maka dari itu Allah menganjurkan untuk tetap menjaga “stabilitas” iman, Keberadaan harta tidak sampai menghilangkan iman, tapi mampu meningkatkan iman sebagai bagian domain  kehidupan. Allahpun lebih menyukai mukmin yang kuat daripada mukmin yang lemah dalam pengertian yang luas, artinya kuat disini, kokoh dalam harta dan lemah dari tidak mapan( miskin).









DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Ibn,  Radd Al-Mukhtar ‘Ala Dar Al-Mukhtar, Juz II, tt.
Ash Shiddiqie, M. Hasbi,  Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.
Departemen Agama RI,  Al Qur’an dan Terjemahnya, Bandung, CV. Diponegoro, 2003.
http//hndwibowo.blogspot.com/2008/06/harta-dalam-perspektif-islam.html
http://darul-arafah.blogspot.com/
Hendrie Anto, M.B, Pengantar Ekonomika Islam, Yogyakarta, Ekonisia, 2003.
Ghazaly, Abdul Rahman,dkk, Fiqh Muamalah,Jakarta: Kencana, 2010.
Masduki Nana,  Fiqh Muamalah, Bandung, IAIN SGD, 1987.
 Suhendi, Hendi,  Fiqh Muamalah, Bandung, Gunung Djati Press, 1997.
Syafee’i, Racmat,   Fiqih Muamalah, Bandung , CV. Pustaka Setia, 2001.
Zuhudi, Masjfuk,  Studi Islam Jilid III Muamlah, Jakarta, PT. Grafindo Persada,  1993.




[1] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Bandung, Gunung Djati Press, 1997, hlm. 9
[2] M. Hasbi Ash Shiddiqie,  Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 139
[3] Ibn Abidin, Radd Al-Mukhtar ‘Ala Dar Al-Mukhtar, Juz II, Hlm. 355.
[4] Nana Masduki, Fiqh Muamalah, Bandung, IAIN SGD, 1987, hlm. 76
[5] M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Islam, Yogyakarta, Ekonisia, 2003, hlm. 192.
[6]  Masjfuk Zuhudi,. Studi Islam Jilid III Muamlah, Jakarta, PT. Grafindo Persada,  1993, hlm. 31
[7] Departemen Agama RI,  Al Qur’an dan Terjemahnya, Bandung, CV. Diponegoro. 2003, hlm. 429
[8] http://darul-arafah.blogspot.com/
[9] http//hndwibowo.blogspot.com/2008/06/harta-dalam-perspektif-islam.html
[10] M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Islam, Yogyakarta, Ekonisia, 2003, hlm. 202.
[11]  Racmat Syafee’i, M.A.,  Fiqih Muamalah, Bandung , CV. Pustaka Setia, 2001,
[12]Abdul Rahman Ghazaly,dkk, Fiqh Muamalah,Jakarta: Kencana, 2010, hal.31.
[13]Ibid., hal 32-38

Posting Komentar

Dear readers, after reading the Content please ask for advice and to provide constructive feedback Please Write Relevant Comment with Polite Language.Your comments inspired me to continue blogging. Your opinion much more valuable to me. Thank you.