Zailani MA: Dosen FAI UMSU
Islam
lahir di tengah hiruk pikuk budaya Jazirah Arab. Perpaduan ajaran Islam dan budaya setempat menjadikan Islam
semakin” berwarna”. Dengan tidak
meninggalkan subtansi ajaran
murni. Ketika ajaran ini datang
pada suatu tempat, maka Islam akan menampilkan wajah yang merangkul dan mewarnainya. Dalam dinamika
pemikiran dan paham keagamaan, tentu
menimbulkan pro dan kontra. Dalam
demensi tektual – simbolis, memahami
bahwa Islam yang ditampilkan Rasul ditanah Arab murni seluruhnya bagian dari kreasi Qur’an-sunnah. Bukan bagian dari budaya Arab. Maka tidak
heran bila adab sehari-hari sebagian masyarakat muslim di Indonesia termasuk
berpakaian rujukan disesuaikan dengan masyarakat Arab dimana Rasul hidup. Di sisi lain muncul kelompok kontektual – subtantif,
melihat prilaku Rasul dari sudut pandang
maksud dan tujuan. Memahami sesuatu
tidak berdasarkan tampilan atau simbol.
Tapi lebih melihat apa yang tersirat dari simbol tersebut.
Islam
lahir bukan pada tempat yang hampa budaya. Dia
hadir disaat manusia hidup dengan tradisi berurat dan berakar. Tapi agama ini mempunyai spirit dan kekuatan
untuk merubah suatu kaum yang kuat,
gigih disiplin dan berbudaya, jauh lebih kuat dan tahan banting. Sebut
saja zaman sahabat. Mereka berjuang dan berperang dengan pantang
menyerah. Bagi mereka syahid adalah adalah anugrah. Islam juga mampu melahirkan peradaban pada suatu bangsa dan kerajaan,
sebut saja Abbasiah, Umayyah atau Turki Usmani. Perang melawan penjajah di bangsa ini, juga tidak lepas dari semboyan
fisabillilah dan mati syahid. Bila ditilik perjalanan agama ini
pada bangsa di Timur Tengah dan sampai ke Asia Tenggara, menandakan Islam sudah tahan uji dalam menghadapi badai dan rintangan.
Karena naluri dari Islam adalah
merangkul, bersahabat dan pantang Menyerah.
Disadari
atau tidak, terkadang Islam jadi tertuduh manakala seorang muslim tidak menampilkan sosok yang berbudaya islami. Atau
budaya tersebut hanya terlihat manakala
di mesjid dan perayaan hari besar. Tidak jarang
kondisi nihil ini dibanding-bandingkan dengan negara
yang minoritas muslim namun mempunyai budaya sosial yang baik. Korea Selatan,
sekitar 40 persen penduduknya tidak beragama. Namun
itu tidak menghalangi diri mereka
untuk tertib berlalu lintas, disiplin, gigih, maju dan rendahnya tindakan
kriminal. Prilaku seperti ini lahir dilatar
belakangi banyak faktor. Tapi faktor Islam tidak menjadi domain utama
karena Kristen dan Buddha mendominasi di Negara ini. Sebaliknya bila memandang sesaat ke bangsa ini dengan mayoritas
penduduknya beragama Islam, belum
sepenuhnya menjadi elan vita, motor pengerak. Paling agama akan dibawa bila berhubungan dengan kepentingan elit politik. Inilah yang sangat disayangkan, Islam seolah menjadi terdakwa manakala ada
umat yang melakukan korupsi, pembunuhan, pelecehan seksual dan jenis kejahatan
yang lain. Bahkan perdebatan antar
paham, sebut saja fikih yang dialami
antar organisasi Islam, terkadang masuk ke dalam sikap kafir mengkafirkan. Tudingan seperti ini bukan hanya melemahkan
umat tapi juga pamor dan persaudaraan semakin luntur.
Islam dengan ajarannya, hendaknya biar mengalir dan masuk kepada
kelompok dan masyarakat mana saja.
Untuk masyarakat perkotaan,
Sepatutnya memunculkan rasa dan tanggung
jawab bersama. Bagaimana
membentuk masyarakat kota yang yang metropolitan tapi tetap islami. Hak
umum, baik untuk masyarakat, hewan dan tumbuhan tetap menjadi perhatian. Pelajaran yang mampu
dipetik dari nasehat Rasul tidak menebang pohon saat berperang, mengindikasikan bahwa dalam suasana kacaupun rasul masih
menghargai makhluk yang
hidup berdampingan dengan manusia apalagi dalam membangun kota. Tentu jauh
lebih diutamakan, bukan sebaliknya. Dalam konteks pekerjaan bagaimana Islam
mengajarkan apabila telah selesai suatu pekerjaan, pindah pada pekerjaan yang lain. Ini budaya yang positip bagi semua.
Kehidupan beragama
belum semua masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan umat. Dalam beberapa aspek, Islam masih sering dipandang agama akhirat, yang lebih banyak menjelaskan Surga
dan Neraka, atau pahala dan dosa. Ini
tentu menpengaruhi cara berpikir dalam
melihat upaya fastabikhul khairat. Orang kaya dermawan dengan senang hati memberikan sumbangan
untuk membangun masjid. Dengan landasan Kitab suci bahwa dia akan mendapat rumah yang indah di Surga. Atau memberikan zakat harta dengn cara membagi-bagikan kepada sejumlah fakir msikin atau para
peminta, supaya dinikmati untuk kebutuhan sehari- hari. Ini tentu merupakan prestasi
yang baik. Jika Budaya ini dimenej
secara baik mampu melahirkan peradaban,
bisa dikelola lebih terorganisir. Bagaimana membuat masjid menjadi
tempat yang paling digandrungi anak muda.
Dengan berbagai macam aktifitasnya. Bagaimana penyaluran bantuan
zakat, infak dan sedekah lebih menyentuh persolan dasar masyarakat muslim, yang minim keterampilan, lapangan kerja dan
sokongan dana membangun usaha.
Pemahaman ajaran agama
secara komprehensip dengan tetap
membuka diri mengikuti perkembangan zaman.
Memberikan ruang dan opsi munculnya budaya Islam itu sendiri. Tidak ada yang meragukan daya tahan Islam terhadap budaya lokal
suatu daerah. Ibaratnya Islam bagaikan aliran air yang mengisi sekat yang masih
kosong. Disisi lain Pelaksanaan ajaran secara ritual dapat menjelma menjadi ajaran
sosial. Ketika seseorang melaksanakan haji, sholat fardhu dan zakat
fitrah, wajib sesuai dengan waktunya, begitu juga di aktifitas sosial. Bagaimana
mualamah dalam segala aspek duniawiyah turut mengacu dari sumber ajaran yang
ada. Dari sinilah muncul kehidupan
muslim yang berbudaya, dinamis. Islam
Tidak lagi hanya menjadi komiditi. Tapi
menjadi landasan utama dalam melihat dan
berbuat disegala menu kehidupan. Wallahu a’lam.
Posting Komentar
0 komentar
Dear readers, after reading the Content please ask for advice and to provide constructive feedback Please Write Relevant Comment with Polite Language.Your comments inspired me to continue blogging. Your opinion much more valuable to me. Thank you.