0
JUAL BELI
A.    PENDAHULUAN
Fiqh muamalah terdiri atas dua kata, yaitu fiqh dan muamalah.Pengertian fiqh menurut bahasa berasal dari kata faqiha, yafqahu, fiqhan yang berarti mengerti, atau memahami.Pengertian fiqh menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf adalah sebagai berikut.
Fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.Atau fiqh adalah himpunan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.

Adapun lafal muamalat berasal dari kata ‘á¾°mala, yuá¾°milu, muá¾°malatan yang artinya:
Melakukan interaksi dengan orang lain dalam jual beli dan semacamnya

Dari pengertian menurut bahasa tersebut dapat dirumuskan pengertian menurut istilah bahwa fiqh muamalah adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang mengatur hubungan atau interaksi antara manusia dengan manusia yang lain dalam bidang kegiatan ekonomi. Selain perkawinan masuk dalam bidang muamalah, jual beli juga termasuk bidang muamalah karena mencakup hubungan antara manusia dengan manusia.

B.   Prinsip-prinsip Muamalah

Di atas telah dikemukakan bahwa fiqh muamalah adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lain yang sasarannya adalah harta benda atau má¾°l. Hubungan tersebut sangat luas karena mencakup hubungan antara sesame manusia, baik muslim maupun nonmuslim. Namun ada beberapa prinsip yang menjadi acuan dan pedoman secara umum untuk kegiatan muamalah ini.Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut.
1.      Muamalah adalah Urusan Duniawi
2.      Muamalah harus didasarkan kepada persetujuan dan kerelaan kedua belah pihak
3.      Adata kebiasaan dijadikan dasar hukum
4.      Tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain





A.    Jual beli (Perdagangan)
1.      Definisi Jual Beli

Pada masyarakat yang masih sederhana, masing-masing orang atau keluarga akan berusaha mencukupi kebtuhannya sendiri. Misalnya untuk memenuhi kebutuhan makanan, mereka bercocok tanam, atau mencari hewan buruan.Mereka menghasilkan sekedar untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya. Pada masyarakat yang demikian, proses menghasilkan (produksi) dan proses untuk menggunakan (konsumsi) berada dalam lingkungan mereka yang terbatas. Mereka berada pada tingkat subsistence economy atau dalam suatu perekonomian yang masih tertutup.Dalam masyarakat semacam ini, jual beli, tukar menukar atau perdagangan masih terbatas.
Pada golongan masyarakat modern, kebutuhan akan barang dan jasa telah meningkat sedemikian rupa sehingga mereka tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan mereka sendiri.Namun bersamaan dengan itu, barang yang mampu dihasilkan makin banyak, sebagai akibat kemajuan teknologi berproduksi.Berkembangnya teknologi telah mendorong masyarakat untuk mengadakan spesialisasi produksi.Dengan spesialisasi, maka hasil produksi dapat dilipat gandakan.Dalam tingkatan ini orang tidak lagi menghasilkan untuk dirinya sendiri, melainkan mereka berproduksi untuk pasar.Dalam hal ini maka muncul peranan dari jual beli atau perdagangan.

Jual beli secara lughawi adalah saling menukar.Jual beli dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah al-bay’. Secara terminology jual beli adalah suatu transaksi yang dilakukan oleh pihak penjual dengan pihak pembeli terhadap sesuatu barang dengan harga yang disepakatinya.[1]

Menurut Asy-Syaukani jual beli adalah tukar menukar sesuatu harta dengan harta yang lain dengan jalan suka sama suka. Sayyid Sabiq mendefinisikan jual beli dengan pertukuran harta atas dasar saling rela, atau memindahkan hak milik dengan ganti yang dapat dibenarkan.[2]
Menurut ulama fuqoha’, definisi jual beli adalah :
a.       Dari madzhab imam Abu Hanifah mengartikan jual beli adalah tukar menukar harta secara mau sama mau.
b.      Dari Madzhab Imam Syafi’I mengartikan jual beli adalah tukar menukar harta dengan memberikan syarat istidamatul milki ‘ain atau manfaat.

Menurut ahli pakar ekonomi mengartikan jual beli adalah tukar menukar harta yang bukan mata uang dengan suatu mata uang.

Dari beberapa definisi di atas diatas dipahami bahwa inti jual beli adalah suattu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.

Petunjuk-petunjuk Islam yang menyangkut akhlak/etika jual beli dan perdagangan dapat kita temukan pada beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW sebagai berikut :

a.       Jual beli atas dasar suka sama suka
1)      Agar jual beli atau perdagangan dilakukan atas dasar suka sama suka, dan tidak ada unsur pemaaksaan, seperti dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa (4) : 29
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan atas dasar suka sama suka di antaramu, dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu. ”

b.      Khiar (Piilihan Positif)
Dalam melakukan jual beli atau perdagangan kita diberi hak untuk mengadakan khiar (pilihan untuk meneruskan atau membaatalkan transaksi). Dengan hak khiar itu ada jaminan bahwa orang akan membeli barang sebagaimana dimaksudkan. Sehingga pembeli memperoleh kepuasaan tentang harga dan kualitas barang yang dibelinya.

c.       Menyempurnakan takaran dan timbangan
Dalam mengadakan jual beli dilarang melakukan kecurangan dengan mengurangi takaran, mengurangi timbangan, ataupun menyembunyikan cacat-cacat pada barang.
“ Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, tetapi apabila mereka menakar untuk orang lain, mereka menguranginya. Tidaklah mereka mengira bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam. ” (Q.S Al-Muthafiffin (83) ; 1-6)

“ Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar, itulah yang lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya. “(Q.S Al-Israa’ (17) : 35)

Perikatan diadakan secara tertulis atau dengan 2 orang saksi
a.       Perikatan atau jual beli dapat dilakukan dengan tunai, dapat pula dilakukan dengan pembayaran dibelakang. Al-Qur’an memberikan petunjuk yang berkenaan dengan perikatan jual-beli secara tidak tunai ini. Dalam hal ini Al-Qur’an memberikan pedoman bahwa jual beli atau perikatan yang tidak tunai itu dilaksanakan secara tertulis.
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan perikatan (hutang-piutang, jual-beli) untuk dipenuhi dalam waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguan” (Q.S Al-Baqarah (2) : 282)
Arti yang terkandung dalam ayat tersebut tidak terbatas pada jual beli saja, tetapi juga hutang piutang.Manfaatnya jelas, yaitu memberikan kepastian kepada masing-masing pihak yang terlibaat di dalam perikatan itu. Di samping itu, dapat dihindarkan adanya kemungkinan sengketa di antara pihak-pihak yang berkepentingan.[3]

Salah satu cara Jual Beli adalah dengan cara Jual Beli Talaqqi Al-Rukban, Jual Beli dengn cara mencegat atau menjumpai pihak penghasil atau pembawa barang perniagaan dan membelinya, di mana pihak penjual tidak mengetahui harga pasar atas barang dagangan yang dibawanya sementara pihak pembeli mengharapkan keuntungan yang berlipat dengan memanfaatkan ketidaktahuan mereka.
Cara ini tidak diperbolehkan secra syariah sesuai dengan sabda Rasulullah :
“Janganlah kamu mencegat kafilah/rombongan yang membawa dagangan di jalan, siapa yang melakukan itu dan membeli darinya, maka jika pemilik barang tersebut tiba di pasar (mengetahui harga), ia boleh berkhiar.” (HR. Muslim)

Kita lihat disini, larangan  tidak membuat transaksi menjadi tidak sah, karena bisa menjadi sah apabila ada hak khiyar al-ghabn atau hak opsi/memilih untuk membatalkan atau melanjutkan transaksi dari pihak penjual setelah mengetahui harga pasar.[4]
Macam-macam Jual Beli
1.      Menurut Hanafiah
Akad Jual Beli jumlahnya sangat banyak, namun kita dapat membaginya dengan meninjaunya dari beberapa segi.
a.       Ditinjau dari segi sifatnya, jual beli terbagi kepada dua bagian:
1)      Jual beli yang shahih;
2)      Jual beli ghair shahih;

b.      Ditinjau dari segi shigat-nya, jual beli terbagi kepada dua bagian:
1)      Jual beli mutlaq;
2)      Jual beli ghair mutlaq;

c.       Ditinjau dari segi hubungannya dengan barang yang dijual (objek akad), jual beli terbagi kepada empat bagian:
1)      Jual beli muqayadhah;
2)      Jual beli sharf;
3)      Jual beli salam;
4)      Jual beli mutlaq.

d.      Ditinjau dari segi harga atau ukurannya, jual beli terbagi kepada empat bagian:
1)      Jual beli murabahah;
2)      Jual beli tauliyah;
3)      Jual beli wadiah.
4)      Jual beli musawamah.[5]
2.      Menurut Malikiyah
Malikiyah membagi jual beli secara garis besar kepada dua bagian, yaitu
a.       Jual beli manfaat, dan
b.      Jual beli benda

Jual beli manfaat terbagi kepada lima bagian :
1)      Jual beli manfaat benda keras (jamad). Ini disebut sewa rumah dan tanah
2)      Jual beli manfaat binatang dan benda tidak berakal. Ini disebut sewa-menyewa binatang dan kendaraan
3)      Jual beli manfaat manusia berkaitan dengan alat kelamin, yaitu nikah dan khulu’
4)      Jual beli manfaat manusia selain alat kelamin, seperti sewa tenaga kerja
5)      Jual beli manfaat barang-barang. Ini disebut ijarah (sewa-menyewa)

Jual beli benda (a’yan) terbagi kepada beberapa bagian tergantung kepada segi peninjauannya.
a.       Ditinjau dari segi pembayarannya tempo atau ttunai
b.      Ditinjau dari segi alat pembayarannya
c.       Ditinjau dari segi dilihat atau tidaknya objek
d.      Ditinjau dari putus tidaknya akad
e.       Ditinjau dari segi ada tidaknya harga pertama
f.       Ditinju dari segi sifatnya.6[6]

Sebab-sebab dilarangnya jual-beli
Larangan jual beli disebabkan karena dua alasan, yaitu:
1.      Berkaitan dengan objek
2.      Tidak terpenuhinya syarat perjanjian, seperti menjual yang tidak ada, menjual anak binatang yang masih dalam tulang sulbi pejantan (malaqih) atau yang masih dalam tulang dada induknya (madhamin)
3.      Tidak terpenuhinya syarat nilai dan fungsi dari objek jual beli, seperti menjual barang najis, haram dsb.
4.      Tidak terpenuhinya syarat kepemilikan objek jual beli oleh si penjual.
B. Perbedaan Bagi Hasil dengan Riba

Riba (tambahan) adalah sesuatu hal yang diharamkan dalam Islam, karena riba adalah tindakan merugikan bagi orang lain. Berbeda dengan bagi hasil, karena bagi hasil adalah atas kesepakatan oleh kedua belah pihak.Namun kedua hal tersebut sering kali disalah artikan olehorang-orang yang tidak bertanggung jawab.Untuk lebih memahi perbedaannya, berikut adalah table perbedaan antara riba dan bagi hasil.


Riba
Bagi Hasil
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
Penentuan besarnya rasio bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi
Besarnya presentase bunga didasarkan pada jumlah uang yang ditanamkan/ dipinjamkan
Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan atau pendapatan usaha yang diperoleh
Pembayaran bunga adalah tetap, seperti yang dijanjikan, tanpa pertimbangan apakah usaha yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
Bagi hasil tergantung pada keuntungan atau pendapatan usaha yang dijalankan. Bila usaha mengalami kerugian. Kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkatkan jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang booming dan juga tidak menurun ketika usaha merugi
Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan dan bisa menurun ketika usaha merugi

Islam melihat konsep jual beli sebagai suatu alat untuk menjadikan manusia itu semakin dewasa dalam pola berpikir dan melakukan berbagai aktifitas, termasuk aktifitas ekonomi. Dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 275, Allah menegaskan yang artinya:
…Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…

Hal yang menarik dari firman Allah SWT tersebut adalah adanya pelarangan riba yang didahului oleh penghalalan jual beli.Jual beli (trade) adalah benttuk dasar dari kegiatan ekonomi manusia.Dalam ayat tersebut Allah SWT menerangkan bahwa ada perbedaan signifikan antara jual beli dan riba.Karena orang Arab jahiliyah menganggap bahwa antara jual beli dan riba tidak berbeda sama sekali, karena sama-sama meraih untung. Tapi sesungguhnya penyamanan antara jual beli dan riba merupakan kekeliruan yang sangat besar.
Aktivitas jual beli merupakan pasar perdagangan.Tentu yang dimaksudkan dengan perdagangan disini adalah keuntungannya.Islam tidak melarang dan tidak pula mencegah seorang pedagang untuk mendapatkan keuntungan dari perdagangannya.
Tetapi Islam melarang keuntungan yang sangat berlebihan., karena itu suatu bentuk eksploitasi daqn kezaliman terhadap orang lain.
Ada yang mengatakan bahwa keuntungan yang dibolehkan menurut syara’ ialah sebatas seperenam dari modal.Ada pula pendapat yang mengatakan bahwaa keuntungan yang dibolehkan itu adalah sepertiga modal.Sebahagian fuqahamengatakan bahwa prosentase keuntungan yang dibolehkan adalah menurut batas yang masuk akal, sebagaimana kebiasaan yang berlaku menurut orang-orang yang berpengalaman.
Islam melarang eksploitasi seorang pedagang terhadap pembeli yang tidak mengetahui harga barang.Menurut fuqaha orang seperti ini dinamakan mustarsil.Bila seorang pedagang menaikkan harga karena memanfaatkan ketidaktahuan pembeli mengenai harga barang maka kenaikan harga ini seperti memakan riba.
Menurut syara’ tidak boleh menaikkan prosentase keuntungan terhadap orang yang terpaksa membeli barang karena sangat membutuhkannya.Oleh karena itulah, pemerintah (waliyyul amri) harus membatasi prosentase keuntungan pada komoditas tertentu yang sangat penting yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak.
Perbedaan prinsip yang dengan mudah dapat dikenali untuk membedakan sistem bagi hasil pada sistem ekonomi syari’ah dan sistem bunga pada sistem ekonomi konvensional adalah pada sistem return bagi nasabahnya. Bank konvensional, sistem return-nya adalah sistem bunga yaitu persentase terhadap dana yang disimpan ataupun dipinjamkan dan ditetapkan diawal transakasi sehingga berapa nilai nominal rupiahnya akan dapat diketahui besarnya dan kapan akan diperoleh dapat dipastikan tanpa melihat laba rugi yang akan terjadi nanti. Bank syari’ah sistem return-nya adalah sistem bagi hasil (profit loss sharing) yaitu nisbah (persentase bagi hasil) yang besarnya ditetapkan diawal transaksi yang bersifat fixed tetapi nilai nominal rupiahnya belum dapat diketahui dengan pasti melainkan melihat laba rugi yang akan terjadi nanti.
Para ahli hukum islam sampai saat ini belum ada kata sepakat tentang status hukum bank-bank konvensional dalam operasionalnya memakai sistem bunga, maka salah satu jalan keluar dalam persoalan tersebut adalah dengan cara membentuk bank syari’ah dengan memakai prinsip bagi hasil.
Bank- bank islam islam itu telah menjadi penampung dana dan penyalur dana-dana umat islam baik untuk kepentingan yang berhubungan dengan ibadah seperti dana dari zakat, infak dan sedekah maupun muamalah .Dari data yang berhasil dikumpulkan, ternyata 26 dari 32 Bank merupakan Bank yang sehat dan untung. Untuk indonesia pendirian dari Bank syari’ah dengan prinsip bagi hasil tersebut sudah lama dicita-citakan oleh umat Islam.
Kedudukan Bank syari’ah dalam sistem perbankan nasional mendapat pijakan yang kukuh setelah adanya deregulasi sektor perbankan pada tahun 1983. Dalam pereaturan pemerintah tersebut secara tegas dinyatakan bahwa Bank dengan prinsip bagi hasil tidak boleh melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil ( memakai sistem bunga). Sebaliknya Bank yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil tidak dierkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil. Bagi hasil dilakukan agar sama-sama mendapatkan keuntungan.[7]
Pada bank konvensional, nasabah akan menerima atau membayar return bersifat fixed yang disebut bunga. Bagi nasabah penabung akan mendapatan bunga yaitu persentase terhadap dana yang ditabung sedangkan bagi nasabah peminjam (debitur) akan membayar bunga yaitu persentase terhadap dana yang dipinjam oleh nasabah. Bank syari’ah, nasabah akan menerima atau membayar return bersifat tidak fixed yang disebut bagi hasil. Bagi penabung akan menerima bagi hasil yaitu persentase terhadap hasil yang diperoleh dari dana  yang ditabung oleh nasabah yang kemudian dikelola oleh pihak bank. Peminjam (debitur) akan membayar bagi hasil yaitu persentase terhadap hasil yang diperoleh dari dana  yang dipinjam oleh nasabah yang kemudian dikelolanya.
Bunga yang diterapkan pada sistem ekonomi konvensional harus tetap dibayarkan oleh pihak bank kepada nasabah walaupun bank tidak mendapatkan keuntungan atau dalam keadaan yang bagaimanapun bunga harus dibayarkan tidak melihat apakah laba atau rugi.Bagi debitur juga harus membayar tingkat bunga yang telah disepakati baik dalam kondisi laba maupun rugi. Sistem ini sangat berbeda dengan sistem perbankan syari’ah yang menerapkan sistem bagi hasil, pada kondisi terjadi laba maka           kan membayar tingkat persentase bagi hasil yang telah disepakati, dalam kondisi impas tidak ada pembayaran dan pada kondisi mengalami kerugian maka kerugian tersebut juga dibagi bersama antara nasabah dengan pihak bank. Dalam perbankan syari’ah hubungan antara nasabah dengan bank adalah dalam bentuk kemitraan.
            Sistem syari’ah tidak ada yang dieksplotasi dan tidak ada yang mengeksploitasi, risiko yang merupakan kondisi yang tidak pasti dimasa akan datang ditanggung bersama dan apabila mendapat keuntungan yang tinggi juga dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan diawal.
Mengapa demikian? Karena, ekonomi syari’ah melarang sesuatu (misalnya laba atau rugi) yang tidak pasti dimasa akan datang dibuat pasti dan ditentukan pada saat sekarang. Disi lain juga melarang sesuatu yang sudah pasti dibuat menjadi tidak pasti agar dapat melakukan spekulasi atau mengambil keuntungan untuk kepentingannya sendiri dengan merugikan atau merusak perekonomian secara umum.
Praktek sistem bunga baik pada kondisi ekonomi baik maupun buruk telah terjadi ketidak adilan dalam pembagian hasil atau dengan kata lain terjadi eksploitatori, predatori dan intimidasi, ketiga karakteristik inilah yang merupakan sifat dasar dari ribawi. Oleh karena itu sudah sepantasnyalah ribawi itu dihapuskan dari sistem perekonomian karena hanya akan menciptakan inefisiensi dan instabilitas dalam perekonomian.
C.    Spekulasi dan Prinsip Pasar Syariah
Salah satu bentuk spekulasi ialah usaha penimbunan, atau menahan barang/jasa dari peredarannya untuk tujuan menaikkan harga dan mengacaukan ekonomi.Islam mengharamkan orang menimbun dan mencegah harta dari peredarannya.Islam mengancam mereka yang menimbunnya dengan siksa yang sangat pedih kelak hari kiamat. Ancaman itu dituangkan dalam nash-nash yang tegas dalam Al-Qur;an, firman Allah :
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas-perak itu dalam neraka jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan kepada mereka) : “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas-perak itu dalam neraka jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dn punggung mereka (lalu dikatakan kepada mereka) : “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekaarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu. “(Q.S At-Taubah (9) ; 34-35)
Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahan-nya dan menjauhkannya dari peredaran, agar barang menjadi langka sehingga harga naik.Sekalipun Islam memberikan kebebasan kepada tiap orang dalam menual, membeli dan memenuhi keinginan hatinya, tetapi Islam menentang dengan keras sifat annanuya yang mendorong orang-orang memiliki sifat ketamakan pribadi untuk menumpuk kekayaan atas orang lain.

Sabda Nabi : “Saudagar itu diberi rizki, sedang yang menimbun dilaknat.” (Riwayat Ibnu Majah dan Hakim).

Ini semua bisa terjadi, karena seorang pedagang bisa mengambil keuntungan dengan dua macam jalan, ialah :
1.      Dengan jalan menimbun barang untuk dijual dengan harga yang tinggi, di saat orang-orang sedang mencari dan tidak mendapatkannya, kemudian datanglah orang yang sangat membutuhkannya dan dia sanggup membayar berapa saja yang diminta, kendati harga sangat tinggi dan lewat batas.
2.      Dengan jalan memperdagangkan suatu barang, kemudian dijualnya dengan keuntungan yang sedikit. Kemudian ia membawa dagangan lain dalam waktu dekat dan ia memperoleh keuntungan pula. Kemudian dia berdagang lain dan memperoleh keuntungan lagi.

Dari nash-nash hadits tersebut dan mafhumnya, para ulama beristimbath (menetapkan suatu hukum), bahwa diharamkannya menimbun adalah dengan dua syarat:
1.      Dilakukan di suatu Negara di mana pendududuk negara itu akan menderita sebab adanya penimbunan.
2.      Dengan maksud untuk menaikkan harga sehingga orang-orang merasa payah, supaya dia beroleh keuntungan yang berlipat ganda.[8]

Prinsip-prinsip Pasar Modal Syariah
Islam menolak sejumlah ideology ekonomi yang terkait dengan keangkuhan private property, kepentingan investor, asceticism (menghindari kehidupan duniawi).Economic egalitarianism maupun authoritarianism (ekonomi terpimpin atau paham mematuhi seseorang atau badan secara mutlak).
Islam memiliki konsep bahwa pasar dapat memberikan peran yang efektif dalam system ekonomi bila prinsip persaingan bebas dapat berlaku secara efektif.
Pasar dalam hal ini, tidak mengaharapkan adanya intervensi dari pihak manapun, tak terkecuali Negara dengan berbagai otoritas yang dimilikinya untuk penentuan harga atau private sector dengan kegiatan monopolistic ataupun lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pasar dalam perspektif Islam, tidak membutuhkan kekuasaan yang besar untuk menentukan apa yang harus dikonsumsi dan di produksi.
Menurut Islam, harga sebuah komoditas (barang dan jasa) ditentukan oleh penawaran dan permintaan, perubahan yang terjadi pada harga berlaku juga ditentukan oleh terjadinya perubahan permintaan dan perubahan penawaran. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Anas r.a., bahwasanya suatu hari terjadi kenaikan harga yang luar biasa di masa Rasulullah SAW, maka sahabat meminta Nabi untuk menentukan harga pada saat itu, lalu beliau bersabda yang artinya :

“ Bahwasanya Allah adalah Zat yang mencabut dan memberi sesuatu, Zat yang memberi rezeki dan penentu harga… “ (HR. Abu Dawud)

Berdasarkan hadis tersebut, maka pemerintah tidak memiliki wewenag untuk melakukan intervensi terhadap harga pasar dalam kondisi normal.Harus diyakini bahwa nilai konsep Islam tidak memberikan ruang intervensi dari pihak manapun untuk tidak menentuukan harga, kecuali hanya dalam kondisi darurat yang kemudian menuntut pihak-pihak tertentu untuk ambil bagian menentukan harga.
Ibnu Taimiyah membatasi keabsaha pemerintah dalam menetapkan kebijakan intervensi pada empat situasi dan kondisi berikut :
Pertama, kebutuhan masyarakat atau hajat hidup orang banyak akan sebuah komoditas (barang dan jasa); para fuqaha sepakat bahwa sesuatu yang menjadi hajat hidup orang banyak tidak dapat diperjualbelikan kecuali dengan harga yang sesuai.
Kedua, terjadi kasus monopoli (penimbunan); para fuqaha bersepakat untuk memberlakukan hak Hajar (ketetapan yang membatasi hak guna dan hak pakai atas kepemilikan barang) oleh pemerintah. Hal ini untuk mengantisipasi adanya tindakan negative (berbahaya) yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang melakukan kegiatan monopolistic ataupun penimbunan barang.
Ketiga, terjadi keadaan hasr (pemboikotan), di mana distribusi barang hanya terkonsentrasi pada satu penjual atau pihak tertentu.Penetapan harga disini untuk menghindari penjualan barang tersebut dengan harga yang ditetapkan sepihak dan semena-mena oleh pihak penjual tersebut.
Keempat, terjadi koalisi dan kolusi antar para penjual, di mana sejumlah pedagang sepakat untuk melakukan transaksi diantara mereka sendiri dengan harga penjualan yang tentunya di bawah harga pasar.Ketetapan intervensi di sini untuk menghindari kemungkinan menjadi fluktuasi harga barang yang ekstrem dan dramatis. Pasar merupakan sentra kegiatan ekonomi dan bisnis yang system dan metodenya ditetapkan oleh Islam, sebagai manifestasi dalam sector hablun minannasyang tetap berpegang kepada konsep hablun minallah.
Ajaran Islam menetapkan beberapa peran pasar dalam kegiatan sector ekonomi, yaitu:
a.       Peran pasar dalam distribusi pendapatan. Hukum permintaan dan penawaran dipasar sangat berperan dalam menentukan pendapatan. Hal ini karena pendapatan dipasar direpresentasikan oleh harga (price) yang berlaku sebagai alat tukar atas penggunaan jasa ataupun aneka ragam produk. Konsep distribusi kemudian memanfaatkan instrument harga untuk menentukan nilai barang maupun jasa yang ditawarkan pasar.
b.      Peran pasar dalam menentukan upah; penentuan upah diatur menurut kaidah-kaidah khusus yang ditentukan pada tahapan sebelum berlakunya penawaran riil atau kerja professional tersebut di pasar.
c.       Peran pasar dalam menentukan keuntungan produktivitas modal dalam menghasilkan ringkat pengembalian tidak ditentukan secara pasti dalam nilai persentase nilai keutungan yang didapat dari produktifitas modal tersebut.
d.      Peran pasar dalam menentukan tingkat pengembalian hasil lahan. Dalam mekanisme pasar Islami tingkat pengembalian akan selalu berbanding terbalik dengan ongkos yang diperlukan untuk pengelolaan lahan.

Agar pasar dapat berperan secara normal (alamiah) dan terjamin keberlangsungannya, di mana struktur dan mekanismenya dapat terhindar dari perilaku-perilaku negative dari para pelaku pasar, maka ajaran Islam juga menawarkan satu paket aturan moral berbasis hukum syariah yang melindungi setiap kepentingan pelaku pasar.
Aturan itu sebagai berikut :
1.      Spritualisme transaksi perdagangan
Islam memberikan ajaran kapan seorang Muslim dapat melakukan transaksi, bagaimana mekanisme transaksi dan komoditas barang maupun jasa apa saja yang dapat diperjualbelikan di pasar Muslim. IAspek hukum dalam mekanisme transaksi perdagangan. Konsep halal dan haram dalam kontrak komersial atau bisnis yang diatur dalam firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 29.[9]
Dalam melakukan kegiatan usaha bank syariah selain diatur oleh ketetntuan perundang-undangan yang berlaku, juga harus tunduk pada prinsip-prinsip syariah yang ditentukan dalam Al-Qur’an dan hadis, sehingga pelaksanaan kegiatan usaha bank syariah tersebut merupakan implementasi dari prinsip-prinsip ekonomi Islam yang mempunyai ciri antara lain :1  Pelarangan riba dalam berbagai bentuk
2 Tidak mengenal konsep “Time value of money”
3 UAng sebagai alat tukar bukan komoditi yang diperdagangkan
4 Tidak mengandung maisir (judi/gambling), Gharar (ada unsur penipuan), Riba dan Bathil (rusak/tidak sah)[10]
KESIMPULAN
Pada golongan masyarakat modern, kebutuhan akan barang dan jasa telah meningkat sedemikian rupa sehingga mereka tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan mereka sendiri.Namun bersamaan dengan itu, barang yang mampu dihasilkan makin banyak, sebagai akibat kemajuan teknologi berproduksi.Berkembangnya teknologi telah mendorong masyarakat untuk mengadakan spesialisasi produksi.Dengan spesialisasi, maka hasil produksi dapat dilipat gandakan.Dalam tingkatan ini orang tidak lagi menghasilkan untuk dirinya sendiri, melainkan mereka berproduksi untuk pasar.Dalam hal ini maka muncul peranan dari jual beli atau perdagangan.
Jual beli secara lughawi adalah saling menukar.Jual beli dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah al-bay’. Secara terminology jual beli adalah suatu transaksi yang dilakukan oleh pihak penjual dengan pihak pembeli terhadap sesuatu barang dengan harga yang disepakatinya
Dalam melakukan kegiatan usaha bank syariah selain diatur oleh ketetntuan perundang-undangan yang berlaku, juga harus tunduk pada prinsip-prinsip syariah yang ditentukan dalam Al-Qur’an dan hadis, sehingga pelaksanaan kegiatan usaha bank syariah tersebut merupakan implementasi dari prinsip-prinsip ekonomi Islam
















DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Yatimin. Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Amzah, 2006.
Ad-Daaimah,  Al-Lajnah.  Fatwa-Fatwa Jual Beli. Bogor: Pustaka Imam syafii, 2010.
Departemen Agama RI. Islam untuk Disiplin Ilmu Ekonomi. Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, 2002
http://miripan.blogspot.com/2012/05/pengertian-jual-beli-dalam-islam.html#ixzz28r2a3yPs
K. Lubis, Suhrawardi. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2000.
Wardi Muslich, Ahmad. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah, 2010
Wailah, Sri Nurhayati. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat, 2009.
Yunus Daulay Mahmud, Naimi Nadlrah. Studi Islam II. Medan: Penerbit Ratu Jaya, 2012.
Yusuf,Muhammad. Wiroso. Bisnis Syariah. Jakarta: Mitra Wacana Media. 2007.





[1] Mahmud Yunus Daulay, Nadlrah Naimi,. Studi Islam II (Medan: Penerbit Ratu Jaya, 2012), h.103.
[2] M. Yatimin Abdullah, Studi Islam (Kontemporer. Jakarta: Amzah,2006), h.140.
[3] Departemen Agama RI, Islam untuk Disiplin Ilmu Ekonomi (Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam,2002), h.55-56.
[4] Sri Nurhayati, Wailah, Akuntansi Syariah di Indonesia ( Jakarta: Salemba Empat, 2009),h. 39.
[5]Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat ( Jakarta: Amzah, 2010),  h.  201.
[6] Ibid. h. 209.
[7] Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam (Jakarta: Sinar Grafika,2000), h. 46.
[8] Departemen Agama,  Islam untuk Disiplin, h.134-137.
[9] Yunus Daulay,  Studi, h.115.
[10] Muhammad Yusuf danWiroso,. Bisnis Syariah  ( Jakarta: Mitra Wacana Media, 2007), h. 39.

Posting Komentar

Dear readers, after reading the Content please ask for advice and to provide constructive feedback Please Write Relevant Comment with Polite Language.Your comments inspired me to continue blogging. Your opinion much more valuable to me. Thank you.