0
USAHA PERBANKAN DAN ASURANSI
Pendahuluan
            Pengertian muamalah menurut bahasa adalah interaksi yang dilakukan dengan orang lain dalam jual beli dan semacamnya, sedangkan menurut istilah fiqh muamalah adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang mengatur hubungan atau interaksi antara manusia dengan manusia lain dalam bidang kegiatan ekonomi.[1]
            Dalam pengertian lain, muamalah adalah ketentuan hukum Islam yang berkaitan dengan hubungan sosial antara ummat Islam dalam konteks hubungan ekonomi dan jasa, seperti jual beli, sewa menyewa dan gadai dalam kajian ilmu fiqh.[2] Berkenaan dengan  pengertian di atas, usaha  perbankan dan asuransi bagian dari kajian muamalah.  Seiring dengan perkembangan jaman dan peradaban manusia, yang satu dengan yang lain tak bisa dipisahkan, bahkan  kehidupan dan kemakmuran  orang lain dipengaruhi oleh orang sekelilingnya.
            Cara-cara muamalahpun semakin berkembang, Bank, contohnya. Wadah ini secara sederhana  bukan hanya sebagai tempat menyimpan uang, tapi juga  sebagai lembaga yang dapat memberikan pinjaman, tentu menyimpan dan meminjam punya keuntungan. Namun  apabila dicermati Bank termasuk lembaga yang lebih banyak dapat keuntungan dari pada nasabahnya, bahkan Nasabah cendrung menjadi asset yang empuk untuk mendatang keuntungan, inilah gambaran  bank konvensional. Islam memberikan alternative agar pihak bank dan Nasabah sama mendapat keuntungan, sistim akuntability diterapkan. Hadirnya Bank syariah untuk menjawab persoalan tersebut.    
Disisi lain  asuransi menjadi tren modern untuk menjamin keperluan pribadi dan keluarga, perusahaan dll. Tujuan asuransi adalah untuk mengadakan persiapan dalam menghadapi kemungkinan kesulitan yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupan, seperti dalam kegiatan perdagangan dan lainnya. Maka sudah selayaknya Islam hadir hadir untuk mengawali dan menjaga agar  jalannya sesuai dengan harapan Allah dan Rasulnya.


Pengertian Bank
            Menurut Fuad Mohd Fachruddin, bahwa Bank berasal dari kata Banko (bahasa Italia)[3], sedangkan menurut Yan Pramadyapuspa (t.t:71) sebagaimana dikutip Mohd. Fachruddin, bahwa Bank berasal dari bahasa Inggris atau Belanda yang berarti kantor penyimpanan uang, Bank adalah sebagai simbol bahwa para penukar uang (money changer) meletakkan uang penukaran di atas sebuah meja, meja ini dinamakna Banko yaitu bangku dalam Bahasa Indonesia, jadi kata Bank diambil dari kata banko sebagai simbol penukaran uang di Italia.
            Fuad Mohd Fachruddin, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Bank menurut istilah adalah suatu perusahaan yang memperdagangkan utang – piutang, baik yang berupa uangnya sendiri amupun uang orang lain.[4]
            Masjfuk Zuhdi, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Bank non Islam (conventional Bank) adalah sebuah lembaga keuangan yang fungsi utamanya untuk menghimpun dana yang kemudian disalurkan kepada orang atau lembaga yang membutuhkannya guna investasi (penanaman modal) dalam usaha – usaha yang produktif dengan sistem bunga.[5]
Sejarah Pendirian Bank
            Bank merupakan hasil perkembangan cara – cara penyimpanan harta benda, pera saudagar merasa khawatir membawa perhiasan dan yang lainnya dari satu tempat ke tempat lainnya karena di pelabuhan dan tempat – tempat lain terdapat banyak pencuri, maka Bank merupakan alternatif yang tepat untuk menitipkan barang – barang yang berharga, karena Bank dapat dipercaya dan dapat menjaga harta dengan kekuatan tenaga, dengan demikian berdirilah Bank – Bank dengan cara – caranya.
            Bank pertama berdiri di Venesia dan Genoa di Italia, kira – kira abad ke 14, kota – kota tersebut dikenal sebagai kota perdagangan. Dari kedua kota ini berpindahlah sistem Bank ke Eropa Barat. Di Inggris didirikan Bank of England pada tahun 1696.[6]

1.      Berbagai Macam Ketentuan Produk Bank
A.     Produk Penghimpun Dana
a). Prinsip titipan atau simpanan (Depository/al-Wadi’ah)
            Dalam Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan prinsip al-wadi’ah. Al-wadi’ah artinya sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.[7] Pada dasarnya penerimaan simpanan adalah yadd al-amanah (tangan amanah), artinya si penerima tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan.           Mengacu pada definisi yadd al-amanah, bank sebagai penerima simpanan dapat memanfaatkan al-wadi’ah untuk tujuan current account (giro) dan saving account (tabungan berjangka).[8]
b). Prinsip Mudharabah
Mudharabah ialah memberikan modal dari seorang pemodal (shahibul maal) kepada orang lain (mudharib) untuk diusahakan atau dikelola dan risiko ditanggung bersama. Aplikasinya pada sisi liabilitas, mudharabah adalah akad antara nasabah (shahibul maal) dengan pihak bank (mudharib) untuk kemudian bank mengelolanya. Pada sisi aset, mudharabah (profit sharing) adalah akad pembiayaan dari bank (shahibul maal) kepada nasabah lain (mudharib), dimana seluruh dana berasal dari pihak bank dengan sistem bagi hasil. Mudharabah terbagi atas dua jenis yakni yang bersifat tidak terbatas (mutlaqah, unrestricted) dan dana yang bersifat terbatas (muqayyadah, restricted). Pada jenis mutlaqah pemilik dana (shahibul maal) memberikan otoritas dan hak sepenuhnya kepada mudharib untuk menginfestasikan atau memutar uangnya.
2.      Produk Penyaluran Dana
Sesuai dengan prinsip operasionalnya, untuk memenuhi keinginan para nasabah dalampersoalan dana (financial), Pada umumnya produk pembiayaan ini dikategorikan atas tiga macam, yaitu jual beli, sewa menyewa dan bagi hasil. Dana yang dihimpun dialokasi berdasarkan kebijakan yang telah digariskan.
 Alokasi dana ini bertujuan :
·         Aman mencapai tingkat profitabilitas yang cukup dan tingkat risiko yang rendah
·         Mempertahankan kepercayaan masyarakat dengan menjaga agar posisi likuiditas tetap.[9]
Alokasi penggunaan dana tersebut pada dasarnya dapat dibagi dalam dua bagian penting dari aktiva bank, yaitu aktiva yang menghasilkan (earning asset) dan aktiva yang tidak menghasilkan (non earning asset).
Aktiva yang menghasilkan (earning asset) adalah aset bank yang digunakan untuk menghasilkan pendapatan. Aset disalurkan dalam bentuk investasi yang terdiri dari :
1). Pembiayaan dengan Prinsip Jual Beli
a) Al – bay’ al-murabahah
            Al – bay’ al-murabahah ialah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.[10] Dalam al-bay’ al-murabahah ini, penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.
            b) Al – bay’ al – salam
            Al – bay’ al – salam artinya pembelian barang yang diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayarannya di muka. Dalam hal ini bank bertindak sebagai pembeli dan nasabah sebagai penjual, bank lalu membayar harga yang disepakati di awal kontrak, sementara nasabah akan mengirim barang yang dipesan setelah jatuh tempo.
            c) Al – bay’ al - Istihna’
            Istihna’ adalah akad jual beli antara pemesan atau pembeli dengan penjual atau produsen dimana barang yang akan dijual harus dibuat terlebih dahulu dengan kriteria yang jelas. Istihna’ hampir sama dengan al – bay’ al-salam, bedanya terletak pada cara pembayarannya. Pada al-bay’ al-salam pembayarannya harus dimuka dan segera, sedang pada istihna’ pembayarannya boleh di awal, di tengah, atau di akhir, baik sekaligus ataupun secara bertahap.
d) Akad ijarah
Ijarah adalah sewa menyewa barang antara dua belah pihak. Aplikasinya dalam sistem perbankan syariah adalah akad sewa antara bank (pemilik barang) dengan nasabah (penyewa), dengan cicilan pokok harga barang. Pada akhir masa, bank dapak menjualnya kepada nasabah tersebut, karena itu biasanya ijrah ini dinamai ijarah wal al-iqtina al-muntahia bi al-tamlik.
2). Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil
a) pembiayaan Mudharabah (full financing)
Pembiayaan ini biasanya ditujukan untuk proyek – proyek, baik pembiayaan jangka pendek, menengah maupun jangka panjang, dengan sistem bagi hasil.
b) Pembiayaan Musyarakah (joint financing)
Musyarakah ialah perkongsian antara dua belah pihak atau lebih dalam satu proyek dimana masing – masing pihak berhak atas segala keuntungan dan bertanggung jawab akan segala kerugian yang terjadi sesuai dengan jumlah penyertaan modal masing – masing. Aplikasinya dalam sistem perbankan adalah pembiayaan yang diberikan sebagian dari bank dan sebagian lagi dari nasabah.
3). Produk jasa
a) Wakalah
Al – wakalah secara etimologi artinya al – tafwidh bermakna penyerahan, pendelegasian, pemberian mandat.[11] Menurut terminologis fiqh muamalah wakalah ialah nasabh memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti transfer.[12]
b) Kafalah
Kafalah adalah jaminan suatu pihak kepada pihak lain. Biasanya digunakan untuk membuat garansi suatu proyek (performence bonds, partisipasi dalam tender atau pembayaran lebih dahulu/ advance tender bonds).
c) Hiwalah
Hiwalah adalah transaksi pengalihan utang piutang. Aplikasinya dalam praktek perbankan, fasilitas hiwalah ini lazimnya digunakan untuk membantu suplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank dapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang.
3.      Ketentuan Deposito, Obligasi dan Kartu Kredit dalam Islam
a)      Ketentuan Deposito dalam Islam
Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan
pada waktu tertentu menurut perjanjian antara penyimpan dengan bank yang bersangkutan.[13]Dalam Islam deposito termasuk akad wadi’ah yang artinya titipan
uang, barang dan surat berharga.
b)     Ketentuan Obligasi dalam Islam
Obligasi berdasarkan definisinya adalah suatu surat berharga jangka
panjang yang bersifat utang yang dikeluarkan oleh emitmen kepada pemegang obligasi dengan kewajiban membayar bunga pada periode tertentu dan melunasi pokok pada saat jatuh tempo kepada pemegang obligasi.[14]
Batasan – batasan obligasi yang diperbolehkan dalam syariah Islam dalam fatwa-fatwa tersebut adalah :
a.       obligasi yang tidak dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang bersifat utang dengan kewajiban membayar berdasarkan utang.
b.      Obligasi yang dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
c)      Kartu Kredit dalam Islam
Pengertian Kartu Kredit
Kartu kredit terdiri dari dua kata, yaitu kartu dan kredit. Dalam KBBI,
pengertian kartu kredit adalah kertas tebal, berbentuk persegi panjang (untuk berbagai keperluan, hampir sama dengan karcis). Sedangkan arti kredit adalah (I) pinjaman uang dengan pembayaran, pengambilan secara mengangsur; (II) pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang diizinkan oleh bank atau badan lain.[15]
4.      Asuransi dalam Islam
Asuransi berasal dari bahasa inggris Insurance yang dalam bahasa
Indonesia telah menjadi bahasa populer dan diadopsi dalam KBBI dengan kata “pertanggungan”.[16]Dalam pandangan Abbas salim, asuransi adalah suatu kemauan untuk menetapkan kerugian – kerugian kecil, yang sudah pasti sebagai penganti (subsitusi) kerugian – kerugian yang belum pasti.[17]
            Menurut beberapa pendapat para pakar ulama Islam dengan versinya masing – masing yang dapat dijadikan sebagai rujukan. Jubran Ma’ud dan Ar Ra’id mengatakan, asuransi dalam bahasa arab disebut at-ta’min, penanggung disebut mu’tamin. At-ta’min diambil dari kata amana yang artinya memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut.[18] Mohammad Muslehuddin dalam bukunya Asuransi Dalam Islam memberikan definisi asuransi adalah suatu kelompok yang bertujuan membentuk arisan untuk meringankan beban keuangan individu dan menghindari kesulitan pembiayaan.[19]
            Asuransi (at-ta’min) dalam Ensiklopedi Hukum Islam yaitu transaksi perjanjian antara dua pihak dimana pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat.[20] Dewan Syariah Nasional MUI (DSN-MUI) dalam fatwanya tentang pedoman umum asuransi syariah memberi definisi, asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.[21]
Tujuan asuransi adalah untuk mengadakan persiapan dalam menghadapi
kemungkinan kesulitan yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupan, seperti dalam kegiatan perdagangan.[22]Ketentuan – ketentuan dalam Islam yang berkaitan dengan asuransi adalah: Tidak boleh mengandung unsur gharar (penipuan), maysir (perjudian), dan riba. Unsur gharar dalam asuransi konvensional terletak pada bentuk akadnya, yaitu akad tabadduli atau akad pertukaran.  Hal ini menjadi tidak jelas, karena tidak dapat ditentukan jumlah premi amat tergantung pada takdir. Solusi yang dilakukan dalam menghindari sifat gharar ini adalah dengan mengganti akad tabadduli dengan akad takaffuli atau akad tabarru’.[23]Pada asuransi syariah, hal ini tidak terjadi, karena rekening peserta beserta hasil investasinya akan dikembalikan kepada peserta, kecuali dana yang ada pada rekening tabarru’.[24]
            Adapun alasan ulama yang mengharamkan asuransi sebagai berikut:[25]
1.      Asuransi termasuk segala macam bentuk dan cara operasinya hukumnya haram
2.      Asuransi mengandung unsur perjudian yang dilarang dalam Islam
3.      Asuransi mengandung unsur ketidakpastian
4.      Asuransi mengandung unsur riba yang dilarang dalam Isalm
5.      Asuransi termasuk jual – beli atau tukar – menukar mata uang scara tidak tunai
6.      Asuransi obyek bisnisnya digantungkan pada hidup dan matinya seseorang, yang berarti mendahului takdir Allah swt
7.      Asuransi mengandung unsur eksploitasi yang bersifat menekan
Ulama yang membolehkan asuransi, diantaranya Abdul Wahhab Khallaf, Ibnu Abidin,Mustafa Ahmad Zarqa, Muhammad Yusuf Musa, Syekh Ahmad asy-Syarbashi, Syekh Muhammad Abu Zahra, Abdurrahman Isa, dan Muhammad Nejatullah Siddiqi.
 Adapun alasan ulama memperbolehkan asuransi adalah sebagai berikut:[26]
1.      Tidak terdapat nash Alquran maupun hadis yang melarang asuransi.
2.      Dalam asuransi terdapat kesepakatan dari kerelaan antara kedua belah pihak.
3.      Asuransi menguntungkan kedua belah pihak.
4.      Kemaslahatan usaha asuransi lebih besar daripada mudharatnya.
5.      Asuransi mengandung kepentingan umum, sebab premi – premi yang terkumpul dapat diinvestasikan dalam kegiatan pembangunan.
6.      Asuransi termasuk akad mudharabah antar pemegang polis dengan perusahaan asuransi.
Terdapatnya perbedaan antara asuransi konvensional dengan asuransi syariah, diantaranya:
a.      Asuransi Konvensional
1.      Mengandung unsur maysir (judi), gharar (unsur ketidakpastian), dan riba. Hal ini tidak selaras dengan syariah Islam karena diharamkan dalam muamalah.
2.      Asuransi konvensional bebas melakukan investasi pada sembarang tempat yang tidak terbatas pada halal atau haram.
3.      Asuransi konvensional pengurus dianggap sebagai pekerja dan gajinya ditetapkan sebagai karyawan biasa.
4.      Dalam asuransi konvensional biaya agen ditanggung oleh nasabah.
5.      Dalam asuransi konvensional investasi yang dilakukan bertujuan untuk kepentingan perusahaan.
6.      Asuransi konvensional hukum yang dipakai yaitu yang dibuat oleh manusia bersumber dari pikiran manusia.
7.      Asuransi konvensional Dewan Pengawas Syariah tidak ada sehingga dalam praktiknya bertentangan dengan kaidah-kaidah syara’.
b.      Asuransi Syariah
1.      Dalam asuransi syariah bersih dari maysir (judi), gharar (unsur ketidakpastian), dan riba.
2.      Asuransi syariah investasi dilakukan pada hal-hal yang diizinkan syara’ seperti sektor riil dengan proyek-proyek mudharabah atau pada pengusaha yang sudah kuat.
3.      Asuransi syariah antara pengurus dan pemilik melakukan kontrak mudharabah, pengurus sepenuhnya sebagai pelaksana dan tidak mendapatkan gaji dari perusahaan.
4.      Asuransi syariah biaya agen ditanggung oleh perusahaan.
5.      Asuransi syariah uang premi nasabah yang berbentuk tabungan diakui sebagai utang, pendapatan dan sebagai cadangan.
6.      Asuransi syariah setiap investasi keuntungannya dibagi dua antara perusahaan dan nasabah dengan prinsip yang adil.
7.      Asuransi syariah dasar hukumnya bersumber dari syariat Islam atau hukum Allah seperti Alquran dan sunnah Rasul.
8.      Asuransi syariah ada Dewan Pengawas Syariah yang berfungsi mengawasi pelaksanaan operasional perusahaan asuransi syariah.
9.      Asuransi syariah menggunakan konsep akuntansi cash basis yang mengakui apa yang telah ada sedangkan asuransi konvensional menggunakan sisitem akuntansi accural basis yang mengakui aset, biaya, kewajiban yang sebenarnya belum ada.
10.  Asuransi syariah dibebani kewajiban membayar zakat dari keuntungan yang diperoleh sedangkan asuransi konvensional tidak.[27]
Dasar Hukum Islam terkait Asuransi Syariah
1.    Surat Yusuf :43-49 “Allah menggambarkan contoh usaha manusia membentuk sistem proteksi menghadapi kemungkinan yang buruk di masa depan.
2.    Surat Al-Baqarah :188 Firman Allah “...dan janganlah kalian memakan harta di antara kamu sekalian dengan jalan yang bathil, dan janganlah kalian bawa urusan harta itu kepada hakim yang dengan maksud kalian hendak memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu tahu (al:Baqarah:188)
3.    Al Hasyr:18 Artinya :”Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Alloh dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok (masa depan) dan bertaqwalah kamu kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui apa yang engkau kerjakan”.
MACAM-MACAM ASURANSI
            Asuransi Timbal Balik
Yang dimaksud asuransi timbal balik adalah bahwa beberapa orang memberikan iuran tertentu yang dikumpulkan dengan maksud meringankan atau melepaskan beban seseorang dari mereka diwaktu emndapat kecelakaan.
a.      Asuransi Dagang
Asuransi dagang adalah beberapa manusia yang senasib bermufakat dalam mengadakan pertanggung jawab bersama untuk memikul kerugian yang menimpa salah seorang anggota mereka.
b.      Asuransi Pemerintah
Asuransi pemerintah adalah menjamin pembayaran harga kerugian kepada siapa saja yang menderita diwaktu terjadinya suatu kejadian yang merugikan tanpa mempertimbangkan keuntungannya.
c.       Asuransi Jiwa
Yang dimaksud dengan asuransi jiwa adalah asuransi atas jiwa orang-orang yang mempertanggungkan atas jiwa orang lain, penanggung (asurador) berjanji akan membayar sejumlah uang kepada orang yang disebutkan namanya dalam polis apabila yang mempertanggungkan (yang ditanggung) meninggal dunia atau sesudah melewati masa-masa tertentu.
asuransi ini sama sekali tidak dapat diterapkan, sebab:
a.       Semua anggota asuransi tidak membayarkan uangnya itu dengan maksud tabarru’ bahkan niat ini tidak terlintas sedikitpun padanya.
b.      Badan asuransi memutar uangnya dengan investasi pada usaha lain.
c.       Anggota asuransi mengambil dari perusahaan apabila telah habis waktu yang telah ditentukan sejumlah uang yang telah disetor dan sejumlah tambahan, sebagai bagian dari keuntungan dan investasi itu.
d.      Barang siapa yang hendak menarik uangnya itu, maka ia akan dikenakan kerugian yang cukup besar. Sedang pengurangannya ini sama sekali tidak dapat dibenarkan dalam pandangan syariat Islam.
e.     Asuransi Atas Bahaya yang Menimpa Badan
Asuransi atas bahaya yang menimpa badan adalah asuransi dengan keadaan-keadaan tertentu pada asuransi jiwa atas kerusakan-kerusakan diri seseorang.
f.     Asuransi Terhadap Bahaya-bahaya Pertanggung Jawab Sipil
     Yang dimaksud dengan asuransi terhadap bahaya-bahaya prtanggungan
jawab sipil adalah asuransi yang diadakan terhadap benda-benda, seperti asuransi rumah, perusahaan, mobil,kapal iudara,kapal laut,motor, dan yang lainnya, di RPA  asuransi mengenai mobil dipaksakan.[28]    
PENDAPAT ULAMA TENTANG ASURANSI
            Para imam mujtahid seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i Imam Ahmad bin Haribal dan para mujtahid yang sesama dengannya tidak memberikan fatwa tentang asuransi, karena pada masanya asuransi belum dikenal.
            Dikalangan ulama atau cendikiawan muslim terdapat empat pendapat tentang hukum asuransi,yaitu:
1.      Mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya seperti sekarang ini; termasuk asuransi jiwa. Kelompok ini antara lain Sayyid Sabiq yang diungkap dalam kitabnya Fiqh al-sunnah, Abdullah Al-Qalqili, Muhammad Yusuf al-Qadhawi dan Muhammad Bakhit al-Muth’i alasannya antara lain:
·         Asuransi sama hakikatnya dengan judi
·         Mengandung unsur tidak jelas dan tidak pasti
·         Mengandung unsur riba/rente
·         Mengandung unsur eksploitasi, karena pemegang polis apabila tidak dapat melanjutkan pembayaran preminya, bisa hilang atau dikurangi uang premi yang telah dibayarkan.
·         Premi-premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang polis diputar dalam praktek riba (karena uang tersebut dikreditkan dan diuangkan).
·         Asuransi termasuk akad sharfi, artinya jual beli atau tukar-menukar mata uang tidak dengan uang tunai.
·         Hidup dan matinya manusia dijadikan obyek bisnis, yang berarti mendahului takdir Tuhan Yang Maha Esa.
2.      Membolehkan semua asuransi dalam prakteknya dewasa ini
Pendapat ini dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf, Mustafa Ahmad Zaqra, Muhammad Yusuf Musa dan alasan-alasannya sebagai berikut:
·         Tidak ada nash al-Quran maupun nash al-Hadits yang melarang asuransi
·         Kedua pihak yang berjanji (asurador dan yang mempertanggungkan) dengan penuh kerelaan menerima operasi ini dilakukan dengan memikul tanggung jawab masing-masing.
·         Asuransi tidak merugikan salah satu atau kedua belah pihak dan bahkan asuransi menguntungkan kedua belah pihak.
·         Asuransi mengandung kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan (disalurkan kembali untuk
dijadikan modal) untuk proyek-proyek yang produktif dan untuk pembangunan.
·         Asuransi termasuk Syirkah Ta’awunitah
·         Dianologikan atau diqiaskan dengan sistem pensiun, seperti taspen.
·         Operasi asuransi dilakukan untuk kemasalahan umum dan kepentingan bersama.
3.      Membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial semata.
4.      Menganggap bahwa asuransi bersifat syubhat, karena tidak ada dalil-dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan ataupun secara jelas menghalalkannya. Umat Islam baru dibolehkan menjadi polis atau mendirikan perusahaan asuransi, apabila dalam keadaan darurat.[29]









Kesimpulan
            Fiqh muamalah adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang mengatur hubungan atau interaksi antara manusia dengan manusia yang lain dalam bidang kegiatan ekonomi. Dan didalam fiqh muamalah terdapat pembahasan tentang Perbankan dan Asuransi.
Perbankan syariah bila dibandingkan dengan bank konvensional, bank syariah lebih dibenarkan sebagai tempat penyimpanan dana yang sesuai dengan hukum-hukum dan landasan agama Islam. Bank ini banyak memberikan manfaat dan kemudahan bagi masyarakat, khususnya muslim. Tidak dapat dipungkiri   bank syariah yang ada di Indonesia juga masih tergolong sedikit, dan itupun tidak murni 100 %, ada beberapa hal yang didalamnya masih seperti konvensional, hanya saja dibungkus dengan syariah sebagi upaya untuk tetap mempertahankan nasabah yang gerah dan merasa dirugikan. Maka sebenaranya perjuangan masih panjang untuk dapat menerapkan ekonomi Islam yang betul- betul syar’i’ dari segala aspek muamalah yang ada di Indonesia,
Tidak ada  pilihan yang lain, ekonomi yang  berlandaskan syariah umumnya tahan terhadap gejolak ekonomi. Di Indonesia, mayoritas penduduk beragama Islam, sehingga seharusnya hukum keuangan yang diterapkan mengikuti hukum perekonomian Islam. Namun untuk sampai kesana harus dilaksanakan secara arif dan rasional, tidak memakai cara-cara yang ekstrem.











DAFTAR PUSTAKA

Hafsah. Fiqh I, Medan: Fakultas Tarbiyah IAIN SU, 2008.
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Al-Fiqh,  Jakarta : Ad-Dar Al-
Kuwaitiyah, 1998.

Muslehuddin, Mohammad. Asuransi dalam Islam. Jakarta : Bumi Aksara, 1995.
Muslich, Ahmad Wardi. Fiqh Muamalat. Jakarta : Amzah, 2010.
Naimi, Nadlrah dan Mahmud Yunus Daulay. Fiqh Muamalah, Medan: Ratu
Jaya, 2011.

----------- Studi Islam 2. Medan: Ratu Jaya, 2012
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah,  Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Yusuf, Muhammad dan Wiroso. Bisnis Syariah,  Jakarta : Mitra Wacana
Media, 2007.




















[1]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu ushul Al-Fiqh (Jakarta : Ad-dar Al-kuwaitiyah,1998), h.11
[2]Hafsah, Fiqh I, ( Medan : IAIN SU,2005), h. 112.
[3]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,2002),  h. 277.
[4]Ibid.
[5]Ibid.
[6]Ibid., h.278.
[7]Mahmud Yunus Daulay dan Nadirah Naimi, Fiqh Muamalah (Medan : Ratu Jaya,2011), h. 199.
[8]Ibid., h. 200.
[9] Ibid., h. 202.
[10]Ibid., h. 203.
[11]Ibid., h.206.
[12]Ibid.
[13] Muhammad Yusuf dan Wiroso, 2007(Jakarta : Mitra Wacana Media,2007) h.111.      
[14] Yunus Daulay dan Naimi , Studi,h.130.
[15]H. Ahmad Wardi muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta : Amzah,2010), h.599
[16] Yunus Daulay dan Naimi, Fiqh,  h.215.
[17]Ibid.
[18]Ibid, h. 216.
[19]Ibid., h.142.
[20]Ibid.
[21]Ibid.
[22] Mohammad Muslehuddin, Asuransi dalam Islam( Jakarta : Bumi akasara,1995), h. 3.
[23]Yunus Daulay dan Naimi, Fiqh, h.144.
[24]Ibid, h.145.
[25]Ibid.
[26]Ibid., h.146.
[27]Ibid, h.149.
[28]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah(Jakarta :  PT RajaGrafindo Persada,2002), h.309.


[29]Ibid, h.311

Posting Komentar

Dear readers, after reading the Content please ask for advice and to provide constructive feedback Please Write Relevant Comment with Polite Language.Your comments inspired me to continue blogging. Your opinion much more valuable to me. Thank you.