WANITA DALAM PANDANGAN ISLAM
I
. Pendahuluan
Kedudukan wanita dalam masyarakat bukanlah merupakan
issue yang baru dan juga bukan sesuatu yang telah ditetapkan sepenuhnya. Posisi
Islam dalam hal ini telah menjadi sorotan dunia Barat dengan tingkat objektivitas
yang sangat kurang. Makalah ini bertujuan untuk memberikan penjalasan yang
singkat dan otentik mengenai pandangan Islam berkenaan dengan hal ini.
Ajaran Islam
bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah (hadits). Al Qur’an dan Hadits secara
jelas dan tanpa bias menjadi sumber otentik dari segala hal yang berkenaan
dengan agama Islam. Artikel ini dimulai dengan penjelasan singkat mengenai
kedudukan wanita pada jaman pra-Islam. Kemudian berfokus pada pertanyaan utama
berikut ini: Apa posisi agama Islam dalam memandang status wanita dalam
masyarakat? Seberapa jauh kemiripan dan perbedaan dengan ”keadaan saat itu“,
yang dominan pada saat Islam pertama kali didakwahkan? Bagaimana hal tersebut
jika kemudian dibandingkan dengan ”hak-hak“ yang diperoleh wanita pada dekade
sekarang ini?
Wanita dengan segala kelebihan dan kekurangan dan
begitu juga sebaliknya dengan laki-laki, mempunyai karekter dasarnya sama
dengan dengan lawan jenisnya. Yang
mungkin membedakannya adalah adanya
beberapa pekerjaan yang secara fisiologis hanya mampu dilakukan oleh wanita
atau sebaliknya pria. Hal ini memberikan gambaran wanita sebagai sosok yang memenuhi ruang kosong yang tak mampu
dihiasi oleh kaum adam. Maka sudah
selayaknya kajian sederhana ini memberikan sedikit gambaran keadaan wanita dahulu dan sekarang dan bagaimana Islam
membuka tabir wanita sebagai mahluk yang mengisi kesepian adam disurga sebelum ia diturunkan” oleh Allah
untuk mendiami planet yang bernama bumi.
Maka sudah sepantasnya kajian “wanita”
dibahas dengan mendudukkan pikiran dalam posisi tidak memihak, tapi
lebih mengarah pada studi analisis-kritis, supaya pergumulan pemikiran yang dilakukan tidak bersifat tendensius dan apologis yang berujung pada kesimpulan
yang salah dan terburu-buru.
II. Wanita dalam Islam
Di
tengah kegelapan yang menelan dunia, wahyu bergema di belantara padang pasir
luas di tanah Arab dengan pesan yang segar, mulia dan universal untuk manusia: “Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan
kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya;
dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan
yang banyak.” (QS An-Nisa : 1). Para ulama menafsirkan ayat ini: “Telah
diyakini bahwa tidak ada satu teks pun, baru ataupun lama, yang berhubungan
dengan kaum wanita dalam seluruh aspek dengan begitu singkat, fasih, mendalam
dan asli seperti ketetapan ayat di atas. Menekankan pada konsepsi yang mulia
dan alamiah, Al-Qur’an menyatakan: “Dialah Yang menciptakan kamu dari diri
yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa
senang kepadanya. ". (QS Al-A’raf : 189)
“(Dia)
Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jeniskamu sendiri.”
(QS Asy- Syura : 11) “Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu
sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak anak dan
cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka
beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?" (QS An-Nahl :
72) Seluruh tulisan ini menguraikan secara garis besar posisi Islam
mengenai kedudukan wanita dalam masyarakat dari berbagai aspek –
spiritual, social, ekonomi dan politik.[1]
1. Aspek Spiritual
Al-Qur’an memberikan bukti yang nyata bahwa wanita
benar-benar setara dengan pria di mata Tuhan dalam hal hak dan kewajibannya.
Dalam Al- Qur’an dinyatakan: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang
telah diperbuatnya.”(QS Al-Mumtahanah : 38)“Maka Tuhan mereka
memperkenankan permohonannya (denganberfirman): "Sesungguhnya Aku tidak
menyia-nyiakan amal orang-orang yangberamal di antara kamu, baik laki-laki atau
perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang
lain.”
(QS
Al-Imran : 195) “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami
beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang
telah mereka kerjakan.” (QS An-Nahl : 97, lihat juga An-Nisa).
Wanita menurut Al-Qur’an tidak untuk dipersalahkan
terhadap kesalan pertama Adam alaihis-salam. Keduanya bersalah dalam
mengingkari ketaatan terhadap Allah, keduanya memperoleh hukuman, dan keduanya
mendapat ampunan. (QS Al-Baqarah : 26, Al-A’raf : 20 – 24). Dalam salah satu ayat
Al-Qur’an (surat Thahaa : 121), Adam secara khusus dipersalahkan. Dalam batasan
kewajiban agama, seperti shalat lima waktu sehari semalam, puasa, zakat, haji,
kewajiban wanita tidak berbeda dengan pria. Bahkan dalam beberapa kasus, wanita
mempunyai beberapa kelebihan atas pria. Sebagai contoh, wanita diperbolehkan
meninggalkan shalat dan puasa dalam masa menstruasi dan empat puluh hari saat
nifas.. Jika yang ditinggalkan adalah puasa wajib (selama bulan Ramadhan), dia
boleh mengganti hari yang tertinggal tersebut kapanpun dia sanggup
melakukannya. Dia tidak perlu mengganti shalat karena alasan-alasan yang
disebutkan di atas. Meskipun wanita boleh dan pernah mendatangi masjid pada
masa Rasulullah sallallahu alaihi
wasallam dan karenanya wanita boleh menghadiri shalat jumat sedangkan hal
tersebut (shalat jumat) merupakan kewajiban bagi laki-laki. Hal ini jelas
merupakan sentuhan lembut ajaran Islam karena mempertimbangkan kenyataan bahwa
mungkin wanita harus menyusui atau merawat bayinya, dan karenanya mungkin tidak
dapat menghadiri shalat di masjid manakala waktu shalat tiba. Ajaran Islam juga
mempertimbangkan keadaan perubahan fisiologis dan psikologis yang berhubungan
dengan fungsi kewanitaan yang alamiah.[2]
2. Aspek Sosial
a).
Sebagai Anak dan Orang Dewasa
Bertentangan dengan penguburan bayi perempuan
hidup-hidup dalambeberapa suku Arab, Al-Qur’an melarang hal tersebut, dan
menganggapnya sebagai sebuah kejahatan pembunuhna: “Dan apabila bayi-bayi
perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia
dibunuh.” (QS At-Takwir : 8-9). Mengkritisi perbuatan yang dilakukan
beberapa orang tua yang menolak kelahiran anak perempuan, Al-Qur’an menegaskan:
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak
perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia
menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita
yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan
menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah
(hidup-hidup) ?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan
itu.” (QS An-Nahl : 58-59) .
Islam mengharuskan perbuatan baik dan adil
kepadanya. Diantara perkataan Nabi Muhammad SAW dalam hal ini adalah sebagai
berikut: “Barangsiapa yang memiliki anak perempuan dan tidak menguburkannya
hidup-hidup, tidak mempermalukannya, dan tidak melebihhkan anak laki-laki
atasnya, Allah akan memasukkannya ke dalam surga. “ (HR Ahmad no. 1957). Hak
wanita untuk mencari ilmu tidak berbeda dengan laki-laki. Rasulullah sallallahu
alaihi wasallam bersabda: “Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.”
(HR Al-Baihaqi). Muslim yang dimaksud disini adalah meliputi keduanya laki-laki
dan perempuan.
b)
Sebagai Isteri
Al-Qur’an jelas menunjukkan bahwa perkawinan adalah
perpaduan antara dua setengah dari masyarakat, dan bahwa tujuannya, selain
meneruskan generai manusia, adalah untuk pemuasan kebutuhan emosional dan
keseimbangan spiritual. Landasannya adalah cinta dan kasih sayang. “Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi
kaum yang berpikir.” (QS Ar-Rumm : 21)
Menurut hukum Islam, seorang wanita tidak boleh
dipaksa untuk menikah tanpa persetujuannya. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa
seorang wanita datang kepada Rasulullah sallallahu alaihi wasallam, dan dia
menceritakan bahwa ayahnya telah memaksanya untuk menikah tanpa persetujuannya.
Rasulullah sallallahu alaihi wasallam memberinya dua pilihan… (antara menerima
pernikahan itu atau membatalkannya) (HR Ahmad no. 2469). Dalam riwayat lain,
wanita itu berkata, “Sebenarnya saya menerima perkawinan ini tetapi saya ingin
para wanita mengetahui bahwa orang tua tidak berhak (memaksakan seorang suami
kepada mereka).” (HR Ibnu Majah no. 1873). Selain apa yang diperoleh untuk
melindunginya dalam masa perkawinan, telah diperintahkan secara khusus bahwa
wanita memiliki hak penuh atas maharnya, hadiah perkawinan, yang diberikan
kepadanya oleh suaminya dan hal tersebut termasuk dalam akad perkawinan, dan
bahwa kepemilikan tersebut tidak dapat dipindahkan kepada ayahnya atau
suaminya.[3]
Konsep mahar dalam Islam bukan merupakan harga
actual atau simbolis dari seroang wanita, sebagaimana yang terdapat dalam
beberapa budaya, namun lebih pada hadiah yang melambangkan cinta dan
ketertarikan. Hukum perkawinan dalam Islam adalah jelas dan selaras dengan
sifat dasar manusia.
c)
Sebagai Ibu
Islam mengajarkan kebaikan terhadap kedua orang tua
setelah penyembahan kepada Allah. “Dan Kami perintahkan kepada manusia
(berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya
dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua
tahun.” (QS Luqman : 14) Lebih lanjut, Al-Qur’an memberikan anjuran khusus
bagi perlakuan baik terhadap ibu: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya
kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada
ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS Al-Israa’ : 23) Seorang
laki-laki datang kepada Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam dan bertanya:
“Ya Rasulullah, siapa di antara manusia yang paling berhak aku pergauli degan
baik?” Rasulullah sallallahu alaihi wasallam menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya
lagi, “Kemudian siapa?” Rasulullah sallallahu alaihi wasallam menjawab,
“Ibumu.” Dia bertanya, “Lalu siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Dia
bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Rasulullah
sallallahu
alaihi wasallam menjawab, “Kemudian ayahmu.” (HR Bukhari- Muslim) Sebuah
perkataan terkenal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad sallallahu alaihi
wasallam: “Surga di bawah telapak kaki ibu.” (HR An-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad).
“Orang yang dermawan (pada karakter) adalah mereka yang berakhlak baik terhadap
wanita, dan yang jahat adalah yang mempermalukan mereka.”[4]
3. Aspek Ekomomi
Islam menetapkan hak yang hilang dari wanita pada
masa sebelum Islam dan sesudahnya (bahkan sampai abad ini), hak kepemilikian
independent. Menurut hukum Islam, hak-hak wanita terhadap uang, real estate,
dan jenis harta lainnya diakui secara penuh. Hak ini berjalan tanpa perubahan
apakah dia bertatus belum menikah atau menikah. Dia memiliki hak untuk
membelanjakan, menjual menggadaikan atau menyewakan apa saja dari hartanya.
Adalah juga penting bahwa hak tersebut berlaku untuk harta yang didapatkan
sebelum menikah ataupun sesudahnya. Mengenai hak wanita untuk bekerja, harus
ditegaskan sebelumnya bahwa Islam
memandang tugasnya dalam masyarakat sebagai ibu dan isteri sebagai peranan yang
sangat suci dan penting.
Tugas yang mulia dan vital ini, yang secara luas
membentuk masa depan bangsa, tidak dapat dikatakan “tidak berbuat apa-apa”. Namun
demikian, tidak ada satupun ketetapan dalam Islam yang melarang wanita bekerja
manakala ada kebutuhan untuk itu, khususnya pada pekerjaan yang sesuai dengan
kewanitaanya dan dimana masyarakat lebih membutuhkannya. Contoh dari profesi
ini adalah perawat, pengajar. Bahkan dalam posisi sebagai hakim, dimana ada
kecenderungan untuk meragukan kemampuan wanita pada posisi tersebut mengingat
sifat emosional alamiahnya, kita temukan sebelumnya para ulama seperti Abu
Hanifa dan At- Tabary menegaskan hal itu tidak mengapa. Selanjutnya, Islam mengembalikan
hak wanita dalam hal warisan, setelah sebelumnya dia hanyalah objek yang
diwariskan pada beberapa budaya. Warisannya adalah merupakan hak miliknya dan
tidak ada yang dapat mengklaim warisan tersebut darinya, termasuk ayah dan
suaminya. “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula)
dari hartapeninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan.”(QS An-Nisa: 7) Dalam hal
ini bagian wanita adalah setengah dari bagian pria, ini tidak berarti bahwa
wanita bernilai setengah daripada pria! Secara nyata akan terlihat tidak
sejalan begitu banyak bukti perlakuan yang setara terhadap wanita untuk
kesimpulan semacam itu. Perbedaan dalam hak waris ini hanya sejalan dengan
perbedaan dalam tanggung jawab keuangan pria dan wanita menurut hukum Islam. Di
sisi lain, wanita jauh lebih terjamin dalam hal keuangan dan tidak terbebani
dengan segala jenis tuntutan terhadap harta pribadinya. Harta pribadi sebelum
menikah tidak berpindah kepada suaminya dan dia bahkan tetap menggunakan nama
aslinya sebelum menikah.. Pemeriksaan terhadap hukum waris dalam kesatuan
kerangka hukum islam menunjukkan tidak saja Islam berlaku adil tetapi juga
sangat menaruh perhatian pada wanita.[5]
4. Aspek Politik
Penelitian yang adil terhadap ajaran Islam – ke
dalam sejarah peradaban Islam tentu saja akan didapat bukti nyata bahwa wanita
setara dengan pria dalam apa yang kita sebut hari ini ‘hak berpolitik”. Hal ini
termasuk hak untuk mengikuti pemilu dan juga dicalonkan dalam partai-partai
politik. Hal ini juga termasuk hak wanita untuk ikut serta dalam masalah umum.
Baik dalan Al-Qur’an maupun sejarah Islam kita akan menemukan wanita
berpartisipasi dalam diskusi dan berargumen bahkan dengan Nabi sallallahu alaihi
wasallam, (lihat QS Al-Mujadilah : 14, dan QS Al-Mumtahanah 10-12). Pada masa
pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab radiallahu anha, seorang wanita
membantahnya dalam masjid, membuktikan perkataaannya dan menyebabkan Umar
mengumumkan pada hadirin, “Wanita ini benar dan Umar salah.” Meskipun tidak
disebutkan dalam Al-Qur’an, salah satu hadits Rasulullah diartikan bahwa wanita
tidak pantas menjadi pemimpin Negara.
Hadits yang dimaksud kurang lebih berarti: “Tidak
beruntung suatu masyarakat jika mereka memilih wanita menjadi pemimpin mereka.”
Bagaimanapun juga,keterbatasan ini tidak ada hubungannya dengan martabat atau
hak wanita. Hal ini lebih pada perbedaan alamiah dari segi biologis dan
psikologis.
Menurut ajaran Islam, pemimpin suatu Negara tidak
sekedar symbol. Dia memimpin masyarakatnya dalam shalat, khususnya pada shalat
Jumat dan Ied, Dia secara terus-menerus terikat dalam proses pengambilan
keputusan menyangkut masalah keamanan dan kemaslahatan masyarakatnya. Posisi
yang penuh tuntutan ini, atau yang semisalnya, seperti pinpinan angkatan
bersenjata, secara umum tidak sejalan dengan kondisi fisiologis dan psikologis
wanita pada umumnya. Adalah fakta klinis bahwa dalam masa menstruasi dan
kehamilan, wanita mengalami perubahan fisiologis dan psikologis. Perubahan
seperti itu dapat terjadi dalam keadaan darurat, hingga mempengaruhi
keputusannya. Bahkan di zaman moderen, dan di
negara-negara maju, sangat jarang dijumpai
seorang wanita menjadi kepala negara, berperan lebih dari sekedar
symbol,
seorang wanita yang menjadi komandan angakatan bersenjata, atau
bahkan
jumlah proporsional wanita sebagai anggota parlemen, atau lembaga
sejenis.
Seseorang tidak mungkin menganggap hal ini sebagai ketertinggalan
beberapa
negara atau lembaga konsitusi terhadap hak-hak wanita untuk
menduduki
jabatan kepala pemerintahan atau anggota parlemen. Adalah
lebih
masuk akal untuk menjelaskan keadaan masa kini dalam batasan
perbedaan
natural dan tidak terbantahkan antara pria dan wanita, perbedaan
yang
tidak menyiratkan ‘supermasi’ pria terhadap wanita. Perbedaan ini lebih
menyiratkan
pada peran “saling mengisi” dari keduanya dalam kehidupan ini.[6]
II. Kepemimpinan wanita dalam islam
Kepemimpinan wanita merupakan
persoalan pelik yang sampai saat ini terus menjadi perbincangan. Lingkup
perbincangan tersebut bermula dari tatanan syari'ah yang memberikan barrier berupa sinyalemen hadits bahwa
tidak akan beruntung suatu masyarakat jika kepemimpinan diserahkan kepada
wanita. (Hr. Bukhari).
Interprestasi akan Hadits sebagai sumber kedua setelah Quran
biasanya diletakkan kepada persoalan Sanad dan Perawinya. Artinya apakah secara
matan (isi) suatu hadits tersebut bertentangan atau tidak dengan Qur'an, atau
dapat difahami dengan logika Islam sebagai agama yang fitrah atau tidak. Kemudian
interprestasi yang lain adalah berdasarkan kekuatan sanad ataupun pembawanya.
Dengan menggunakan kekuatan sanad akan melahirkan jenis hadist dari tingkat
Shahih sampai dloif, mursal bahkan palsu. Menurut Yusuf Qardhawy, hadits ini
adalah Shahih sebab periwayatannya dari Abu Bakrah yang kemudian dikutip
Bukhari. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari termasuk ke dalam
hadist yang shahih. Sedangkan dari pertimbangan matan, ada yang difahami secara
tekstual, ataupun difahami secara kontekstual. Pemahaman secara tekstual akan
menyimpulkan bahwa haram hukum wanita menjadi kepala pemerintahan. Sedangkan
pemahaman secara kontekstual, bahwa hadits tersebut berkaitan dengan
diangkatnya seorang wanita Persia menjadi pemimpin meski disekitarnya terdapat
banyak calon pemimpin yang memadai, hanya karena hukum kerajaan menghendaki
demikian.
Mayoritas
ulama ushul melihat bahwa pertimbangan keumuman lafazh lebih mengedepan bukan
pada kekhususan sebab. Meski demikian Ibnu Abbas dan Ibnu Umar tidak
semata-semata itu, hal ini setidaknya melihat dampak dari pemahaman yang
demikian dapat menimbulkan kelompok-kelompok seperti Khawarij yang berlebihan
dalam agama.Jumhur ulama sepakat akan haramnya wanita memegang kekuasan dalam
al-wilayatul-kubra atau al-imamatul-uzhma (pemim pin tertinggi). Di mana wanita
berperan sebagai pemimpin tertinggi dalam urusan pemerintahan. Sebab dalam
matan hadits tersebut terdapat kata "Wallu Amrahum" (Yang Memerintah
Kamu Semua), yang ditafsirkan sebagai Khalifah dalam sistem politik Islam. Sehingga
jumhur ulama memberikan pengharaman pada wanita. Hampir ulama klasik memandang
perlu untuk mengetengahkan hawa hak menjadi khalifah adalah haq laki-laki,
bukan wanita. Ini diungkapkan baik oleh Al-Ghazali, Al-Mawardi, Ibnu Taimiyyah,
Ibnu Khaldun.[7]Akan
tetapi dalam batas kepemimpinan dalam satu bidang tertentu, yang tidak
menyeluruh dalam masyarakat, wanita berhak mendapatkan itu, seperti dalam
kejaksaan, pendidikan bahkan menjadi menteri. Meski demikian perkembangan
pemikiran tentang kepemimpinan merupakan hak setiap insan. Pandangan kaum
modernis terutama yang diwakili oleh kalangan feminis. Fatimah Mernisi seorang
feminis muslim asal Aljazair bahkan secara radikal menyerang pemahaman ulama
yang telah membuat fiqh yang diskriminasi kepada perempuan. Banyak hak
perempuan dikebiri. Dan shabahat Abu Bakrah dalam hal ini menjadi tertuduh
terbesar. Sebab dialah yang mengingatkan Khalifah Ali setelah perang Jamal
dengan Aisyah. Abu Bakrah sendiri menurut Mernisi adalah Sahabat yang pernah
dihukum oleh Umar bin Khattab karena keraguan dalam memberikan saksi. Sehingga
menurut Fatimah Mernisi hadits yang diriwayatkan Abu Bakrah adalah palsu dan
tidak bisa dijadikan hujjah. Tampaknya Fatimah Mernisi menjadi sangat
emosional, bahkan Ali difahami juga turut berbohong demi kepentingan
politiknya. Lebih lanjut Hasan bin Ali juga mendukung hadits tersebut, dan
disebutnya Hasan bin Ali ada kepentingan karena kekuasaannya akan diambil
Muawiyah. Tidak bolehnya wanita duduk dalam kepemimpinan politik adalah produk
ulama yang bias dengan patriakhi.
III. Konsep gender dalam islam
Membicarakan keadilan
dan kesetaraan (gender issues) di dalam Hukum Islam tidak bisa kita
lepaskan dari tuntunan Al Qur`an dan Hadist sebagai sumber pokok dari Hukum
Islam. Hal ini perlu kita pelajari dengan baik dan benar supaya kita tidak
tersesat dalam menafsirkan keadilan dan kesetaraan antara kedudukan laki-laki
dan perempuan dalam kenyataan kehidupan sehari-hari menurut Hukum Islam. Memang
untuk memahami konsep keadilan dan kesetaraan gender diperlukan pemahaman yang
benar. Bahkan terkait dengan keadilan dan kesetaraan gender ini, seringkali
kita dapati pula bahwa dalam kenyataan kehidupan masyarakat muslim ada
hadist-hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bahkan malahan bertentangan dengan
Al-Qur’an. Setiap muslim seharusnya memahami hukum Islam. Akan tetapi
permasalahan yang muncul, tidak sedikit kaum muslimin yang belum
memahami, bahkan sama sekali tidak memahami hukum Islam terkait dengan kesetaraan
gender, sehingga aktivitas kesehariaannya terkait dengan keadilan dan
kesetaraan gender banyak yang belum sesuai atau bahkan bertentangan dengan
hukum Islam. [8]
Hakekat
Keadilan dan Kesetaraan dalam Islam
Masyarakat belum sepenuhnya memahami bahwa gender adalah suatu
konstruksi/bangunan budaya tentang peran, fungsi dan tanggung jawab sosial
antara laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian mengakibatkan kesenjangan
peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki
dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi terhadap perempuan kurang
menguntungkan dibandingkan laki-laki. Faktor utama penyebab kesenjangan gender
adalah tata nilai sosial budaya masyarakat, pada umumnya lebih mengutamakan laki-laki
daripada perempuan (budaya patriarki). Disamping itu, penafsiran ajaran agama yang
kurang menyeluruh atau cenderung dipahami menurut teks/tulisan kurang memahami
realitas/kenyataan, cenderung dipahami secara sepotong-sepotong kurang menyeluruh..
Kesetaraan gender mempunyai arti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan
untuk memperoleh kesempatan serta hak-hak yang sama sebagai manusia. Dengan
keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, dan kekerasan
terhadap perempuan maupun laki-laki. Tidak adanya diskriminasi antara perempuan
dan laki-laki menjadi tanda terwujudnya kesetaran dan keadilan gender, dengan
demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas
pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.[9]
Ada beberapa ukuran yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam melihat
prinsip-prinsip kesetaraan jender dalam Al- Qur'an. Ukuran-ukuran tersebut
antara lain sebagai berikut:
1. Laki-laki dan Perempuan Sama-sama sebagai Hamba
Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk
menyembah kepada Tuhan (QS. Az-Dzariyat/51:56). Dalam kapasitas manusia sebagai
hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai
potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal, yaitu dalam Al-Qur'an
biasa diistilahkan sebagai orangorang yang bertaqwa, dan untuk mencapai derajat
bertaqwa ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau
kelompok etnis tertentu. Dalam kapasitas sebagai hamba, laki-laki dan perempuan
masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan kadar
pengabdiannya (Q.S. al-Nahl/16:97).
2.
Laki-laki dan Perempuan sebagai Khalifah di Bumi
Maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi,
selain untuk menjadi hamba yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah
swt, juga untuk menjadi khalifah di bumi (QS. Al-An'am/6:165). Kata Khalifah
tidak menunjuk kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis
tertentu. Laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah,
yang akan mempertanggungjawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di bumi,
sebagaimana halnya mereka harus bertanggung jawab sebagai hamba Tuhan.
3.
Laki-laki dan Perempuan Menerima Perjanjian Primordial
Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah
dan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Seperti diketahui, menjelang
seorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih dahulu harus
menerima perjanjian dengan Tuhannya (QS. Al-A’raf/7:172). Tidak ada seorangpun
anak manusia lahir di muka bumi yang tidak berikrar akan keberadaan Tuhan, dan
ikrar mereka disaksikan oleh para malaikat. Tidak ada seorangpun yang
mengatakan "tidak". Dalam Islam, tanggung jawab individual dan kemandirian
berlangsung sejak dini, yaitu sejak dalam kandungan. Sejak awal sejarah manusia
dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin, karena sejak awal
tidak pernah diberikan beban khusus berupa "dosa warisan" seperti
yang dikesankan di dalam tradisi Yahudi-Kristen, yang memberikan citra negatif
begitu seseorang lahir sebagai perempuan. Dalam tradisi ini, perempuan selalu
dihubungkan dengan drama kosmis, di mana Hawa dianggap terlibat di dalam kasus
keluarnya Adam dari surga. Al-Qur'an yang mempunyai pandangan positif terhadap
manusia, Al-Qur'an menegaskan bahwa Allah memuliakan seluruh anak cucu Adam
(Q.S. Al-Isra/17:70).
4. Adam dan Hawa, Terlibat secara Aktif dalam Drama Kosmis
Semua ayat yang menceritakan tentang drama kosmis,
yakni cerita tentang keadaan Adam dan pasangannya di surga sampai keluar ke
bumi, selalu menekankan kedua belah pihak secara aktif dengan menggunakan kata
ganti untuk dua orang yakni kata ganti untuk Adam dan Hawa, seperti dapat
dilihat dalam beberapa kasus berikut ini: Keduanya diciptakan di surga dan
memanfaatkan fasilitas surga (Q.S. Al-Baqarah/2:35); Keduanya mendapat kualitas
godaan yang sama dari syaitan (Q.S. Al-A'raf/7:20); Samasama memakan buah
khuldi dan keduanya menerima akibat jatuh ke bumi (Q.S. al- A'raf/7:22);
Sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan (Q.S. Al- A'raf/7:23);
Setelah di bumi, keduanya mengembangkan keturunan dan saling melengkapi dan
saling membutuhkan (Q.S. Al-Baqarah/2:187). Adam dan Hawa disebutkan secara
bersama-sama sebagai pelaku.
5. Laki-laki
dan Perempuan Sama-sama Berpotensi Meraih Prestasi
Dalam hal peluang untuk meraih prestasi maksimum,
tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana ditegaskan
secara khusus di dalam tiga ayat Al- Qur'an (Q.S. Ali Imran/3:195, Q.S.
An-Nisa/4:124 dan Q.S. Mu’min/40:40). Ayat-ayat ini mengisyaratkan konsep
kesetaraan jender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi
individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karier profesional, tidak
mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Salah satu obsesi
Al-Qur'an ialah terwujudnya keadilan di dalam masyarakat. Keadilan dalam Al-Qur'an
mencakup segala segi kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun
sebagai anggota masyarakat., terlihat bahwa di dalam Al-Qur’an, sebetulnya
sudah menyebutkan adanya keadilan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
di dalam Islam. Namun di dalam kenyataan sehari-hari keadilan dan kesetaraan
gender seperti yang diamanahkan di dalam Al-Qur’an bisa dikatakan masih jauh
dari harapan, termasuk pelaksanaan yang terjadi di dunia yang mayoritas warganya
beragama Islam.[10]
KESIMPULAN
Berdasarkan
QS An-Nisa : 1, QS Asy- Syura : 11 dan QS An-Nahl : 72 di jelaskan bahwa wanita
memiliki peran penting dalam berbagai aspek kehidupan,yaitu aspek spiritual,
social, ekonomi dan politik.Berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh
bukhari,para ulama sepakat
akan haramnya wanita memegang kekuasan dalam al-wilayatul-kubra atau al-imamatul-uzhma (pemimpin tertinggi).
Di mana wanita berperan sebagai pemimpin tertinggi dalam urusan pemerintahan.
Sebab dalam matan hadits tersebut terdapat kata "Wallu Amrahum" (Yang Memerintah Kamu Semua), yang ditafsirkan
sebagai Khalifah dalam sistem politik Islam. Sehingga jumhur ulama memberikan
pengharaman pada wanita. Akan tetapi dalam batas kepemimpinan dalam satu bidang
tertentu, yang tidak menyeluruh dalam masyarakat, wanita berhak mendapatkan
itu, seperti dalam kejaksaan, pendidikan bahkan menjadi menteri. Meski demikian
perkembangan pemikiran tentang kepemimpinan merupakan hak setiap insan.
Kesetaraan gender mempunyai arti kesamaan kondisi
bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-hak yang
sama sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam berbagai
kegiatan seperti :politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan lain
sebagainya.. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan
ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Dengan
keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, dan kekerasan
terhadap perempuan maupun laki-laki. Tidak adanya diskriminasi antara perempuan
dan laki-laki menjadi tanda terwujudnya kesetaran dan keadilan gender, dengan
demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas
pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.
Faktor utama penyebab kesenjangan gender adalah tata
nilai sosial budaya masyarakat, pada umumnya lebih mengutamakan laki-laki
daripada perempuan (budaya patriarki). Disamping itu, penafsiran ajaran agama
yang kurang menyeluruh atau cenderung dipahami menurut teks/tulisan kurang
memahami realitas/kenyataan, cenderung dipahami secara sepotong-sepotong kurang
menyeluruh. Sementara itu, kemampuan, kemauan dan kesiapan kaum perempuan
sendiri untuk merubah keadaan tidak secara nyata dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Heryawan,Tepas.
Hakekat Kesetaraan dan Keadilan Gender, Semarang: Pustaka Pelajar, 2006.
Encyclopedia
Britannica. The Encyclopedia Britannica, Chicago, 1986
el Sadawi,
Nawal. Wajah Telanjang Perempuan, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,
2003.
Mernissi,
Fatimah. Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi, Yogyakarta: LSPPA Yayasan
Prakarsa,1995.
Muthahhari,Murtada. The
Right of Women in Islam, Jakarta: Lentera, 2001.
Nawawi Ibn `Umar, Sheikh Muhammad. Wanita Dalam Islam, Jakarta:
Dar
al-Kutub al-islamiyah,2007
Mubarok, Haya Binti. Wanita Muslimah, Jakarta : Darul Falah,2001.
Purwadi, Agus. Islam
dan Problem Gender, Yogyakarta: Adtiya Media, 2000.
Ridlo,M. Subhi. Perempuan Agama dan Demokrasi, Yogyakarta: LSIP, 2007
[3] Sheikh Muhammad Nawawi Ibn `Umar, Wanita Dalam Islam (Jakarta: Dar al-Kutub al-islamiyyah,2007), h.9.
[4] Fatimah
Mernissi, Perempuan dalam Tradisi Islam
Pasca Patriarkh (Yogyakarta: LSPPA
Yayasan Prakarsa,1995), h.89.
[8] Tepas Ahmad Heryawan, Hakekat
Kesetaraan dan Keadilan Gender (Semarang: Pustaka Pelajar, 2006), h. 48.
Posting Komentar
0 komentar
Dear readers, after reading the Content please ask for advice and to provide constructive feedback Please Write Relevant Comment with Polite Language.Your comments inspired me to continue blogging. Your opinion much more valuable to me. Thank you.