A. PENDAHULUAN
Islam secara historis adalah agama dibawa oleh semua
Nabi. Dari Adam sampai Muhammad semua mempunyai misi yang sama, mentauhidkan Allah. Hanya pada level syariat
tidak semua sama. Agama Ini di sempurnakan pada masa Rasul Saw. Islam yang disempurnakan bukan hanya membawa
umat kepada kelompok umat pilihan. Tetapi
memberikan kesempatan pada
manusia untuk mengoptimalkan daya
yang telah diberikannya. Kemampuan yang
diberikan pada setiap makhluk tidaklah sama, khususnya pada manusia. Mereka memiliki
segala kemampuan untuk memudahkan
kehidupan di dunia. Salah satu yang sangat urgen dalam pembentukan manusia adalah panca indra
dan akal dalam merangkai
dunia.
Dalam proses berpikir, potensi yang
telah disiapkan untuk menjadikan manusia
sebagai hewan yang berpikir (hayawatun natiq) adalah akal.
Lalu bagaimana Al-Quran yang memandang
manusia dengan kemampuan berpikirnya. Sampai sejauh mana manusia diberikan kebebasan dalam memikirkan
sesuatu. Ini menjadi hal sangat penting
untuk ditelusuri dalam Al-Quran. Walaupun akal menjadi potensi utama
yang dimiliki manusia, tapi sesempurna
ciptaan Allah, tentu Allah memberikan batasan
makhluknya untuk melakukan sesuatu. Dalam konteks berpikir Al-Quran menjunjung
tinggi harkat martabat manusia melalui
kelebihannya dengan yang lain. Tetapi dalam demensi yang lain, ada garis
pembatas Al-Quran menghendaki manusia untuk menerima dengan konsep iman. Dalam
landasan teologis, antara perintah berpikir dan juga percaya (baca: iman) dua
hal yang sering dijumpai. Dengan demikian antara berpikir kritis dan dan
mengimani diletakkan pada porsinya.
B. AL
QUR’AN DAN KONSEP BERPIKIR
Al-Quran terkadang memposisikan manusia untuk
sebagai makhluk yang berdaya (dalam konsep aliran kalam disebut Mu’tazilah
atau qodoriah) dimana menjadi
akal seperti “dewa penyelamat” dalam mengatasi segala macam masalah. Akal berikut panca indra menjadi tertuduh manakala
timbulnya masalah pada lingkungannya. Dalam arti yang lain. Allah tidak
dimasukkan sebagai pihak yang ikut bertanggung jawab dalam setiap persoalan
yang muncul. Hal-hal di atas sangat berbahaya dalam konteks tauhid. Maka upaya berpikir sistemik dalam ranah
Filsafat tentu menjadi salah satu
hal tidak terbantahkan membantu berbagai
macam problematika sehari- hari. Namun
nilai sufistik dalam Al-Quran tetap menjadi wahana dan salah satu landasan dalam menyikapi setiap kejadian.
Al-Quran dalam konteks historis pertama kali
diturunkan di Gua Hira’ dan ayat yang pertama
kali turun adalah surah al’Ala. Konsentrasi ayat 1-5 yang pertama
kali diturunkan tesebut bagaimana upaya Al-Quran mengajak
manusia untuk mengenal Allah melalui perintah iqra. Membaca di sini
buka saja bersifat himbauan tetapi lebih dikuatkan dalam bentuk perintah. Dalam
demensi ushul fiqh bahasa perintah wajib untuk dikerjakan. Dalam Kitab
Suci manapun di dunia ini, hanya Al-Quran yang memulai mengenal Allah melalui
proses membaca. Yang di dalam terkandung makna berpikir. Kalau agama dan
kepercayaan yang lain dimulai dari hal
yang bersifat doktrinal. Beda halnya dengan Al-Al-Quran “menantang” manusia
menguji keabsahan dan kebenaran Tuhan yang diuraikan dalam firman-firman Allah.
Banyak sekali dijumpai ayat-ayat mewakili kebutuhan akal manusia untuk di
gunakan sebaik mungkin. Besarnya porsi dan kesempatan manusia untuk berpikir,
menandakan adanya upaya pengkajian dan telaah bahwa segala sesuatu yang dipikirkan
dimulai dari sikap kritis. Sikap kritis di sini bukan membawa sebuah konsep filsafat umum, dimulai
dengan rasa keraguan. Tetapi bagaimana
sebuah informasi, ajaran dan lain-lainya dapat ruang untuk didiskusikan
dalam ranah keilmuan. Sebagai sebuah pedoman suci, agama menjadi landasan sakral yang tidak boleh
dtinggalkan. Sesuatu yang tidak perlu ditafsirkan lagi dan bersifat qoth’i. Hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa Islam telah
menjamin kebebasan berpikir.[1]
Hal itu terlihat jelas, bahwa Islam mendorong umatnya untuk menjelajahi
penciptaan alam semesta.[2]
Islam memberikan toleransi kebebasan berpendapat dalam segala ruang lingkup
perkara dunia. Baik dalam urusan umum maupun kelompok. Hal ini tampak jelas
terlihat dalam kisah Saad bin Muaz dan Saad
bin Ubadah ketika Rasulullah mengajak keduannya untuk bermusyawarah dalam
perjanjian dengan Bani Ghatafan untuk memberikan upeti sepertiga hasil
dari kurma Madinah hingga mereka
bersedia untuk keluar dari perjanjian pada saat perang Ahzab. Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu berkata,
datanglah Harits Al Ghatafan kepada Nabi
saw seraya berkata;” Hai Nabi Muhammad, bagikan
kepada kami kurma dari Madinah.”Dikatakan
juga.:” sampai memenuhi sekian- sekian.” Lantas Beliau mengutus Saad bin Muaz,
saad Bin Ubadah, Saad Bin Rabi, Saad Bin Khaitsamah, Saad Bin Mas’ud dan
berkata, “Sesungguhnya
aku telah mengetahui bahwa orang-orang Arab telah melempar kalian dengan satu
panah (bersatu padu) dan Harist telah memberikan pada kalian pilihan uuntuk membagikan kepadanya kurma Madinah. Jika kalian bersepakat untuk membayar kepadanya
selama satu tahun ini sampai kalian
melihat urusan sesudahnya. Mereka menjawab’ “Ya Rasul Saw jika ini wahyu dari
langit kami tunduk pada perintah Allah. Jika Ini kehendak
anda, maka kami harus mematuhinya. Namun Jika Anda ingin mengetahui pendapat
kami, maka demi Allah, kami melihat kita
dengan mereka sama. Tidaklah kami
memberikan kurma kepada mereka
kecuali membeli atau kesepakatan (jual beli)”.[3]
Kisah di atas menandakan Al-Quran dan
hadis tidak memonopoli semua ruang
kehidupan. Memang ada-ada hal yang sifatnya jelas tanpa ada proses ijtihad tapi masih banyak
celah dimana akal diberikan kesempatan untuk bertugas. Sekalipun itu
dalam ranah hukum agama (fiqh) apalagi yang masih sangat bersifat furu’iyah.
Ada
beberapa kata-kata yang menunjuk
aktivitas berpikir dalam Al-Quran, anatara lain:
1.Al-Tadhakkur
Tadhakkur merupakan bentuk
derivasi dari kata dasar dhakara yang berarti mengingat.[4]
Makna mengingat di sini adalah suatu
proses menyimpan sesuatu yang sebelumnya
sudah diketahui. Sehingga timbul kesadaran. Sedangkan dhikr berarti
segala yang terucap oleh lisan. Adapun Ar-Raghib al-Asfahany membagi makna
dhikr menjadi dua yaitu Dhikr bi Al-Qalb (berpikir dengan hati) dan Dhikr
bi Al-Lisan (mengingat dengan lisan)[5].
Lebih lanjut ia menekankan bahwa masing-masing mengandung makna sebagai proses
mengingat kembali tentang apa yang telah terlupa dan mengingat untuk memahami
hal yang baru atau ilmu yang baru bagi orang yang berpikir.[6]
Dalam Konteks peribadatan mengingat Allah salah satu bagian menjaga hubungan dengan Allah, Sehingga Allah
memberkati.[7]
Selain itu, Tadhakkur juga memiliki makna
leksikal (makna dasar) di antaranya ialah darasa (mempelajari) yang memiliki
turunan tadarasa yang berarti mempelajari kembali atau mempelajari secara
berulang-ulang untuk mengingatnya. Lawan kata dari dhikr adalah nisyan
(lupa).[8]
Artinya, Tadhakkur berfungsi untuk menjaga ilmu (‘ilm) yang ada
supaya terhindar dari penyakit lupa. Berarti lupa merupakan akibat dari tidak
diulangnya atau tidak dipelajarinya kembali ilmu-ilmu yang pernah diketahui
sebelumnya. Sebagaimana Abi Zayd yang berkesimpulan, al-dhikr berarti al-sharaf
(kemuliaan). Begitu besarnya perhatian Al-Quran terhadap akal dan potensi yang
digunakan untuk berpikir sehingga sangat mudah dijumpai ayat-ayat bersifat Tadhakkur.
antaranya yaitu: Konsep Allah dan nama-nama-Nya Q. S. Al-Ahzab : 21,
Al-Isra’ : 46, Al-A’la : 15, Az-Zumar : 45, Muhammad : 20,
Al-Baqarah : 152, 198, 203, Ali Imran : 191, An-Nisa’ :
142, As-Shaffat : 13, Al-Mudathir : 56, Al-An’am : 138, Al-Baqarah
: 114, Al-An’am : 121, Al-Hajj : 36, 40, An-Nur : 36,
Al-Maidah : 4, 110, Al-A’raf : 205, Al-Kahfi : 24, Al-Muzammil
: 8, Al-Insan : 25], konsep al-Qur’an [Q. S. Al-A’raf : 63,
69, Yusuf : 104, Al-Anbiya’ : 2, 50, As-Shu’ara’ : 5, Yasin : 69,
Shad : 49, 87, Az-Zuhruf : 44, Al-Qalam : 52, Al-Kauthar
: 27], konsep ayat ayat Allah [Q.S. Al-Ahzab : 49, Yunus : 71].,
konsep nikmat [Q. S. Az-Zuhruf : 13, Al-Baqarah : 40, 47, 122,
231, Ali Imran : 103, Al-Maidah : 7, 11, 20, Al-A’raf : 69, 74,
86, Al-Anfal : 26, Ibrahim : 6, Al-Ahzab : 9, Fathir
: 3]., konsep manusia [Q. S. Maryam : 67], dan lain sebagainya.[9]
Tadhakkur merupakan satu term
dalam Al-Quran yang dapat dimaknai
proses berpikir. Keterangan di atas juga menjelaskan kepada
orientalis bahwa Islam adalah
agama satu-satunya yang ajarannya dapat didebatkan di“meja Ilmu
pengetahuan” Al-Quran buka saja mengetuk
pikiran sesorang tapi juga menyuruh
manusia untuk bisa merasa segala sendi kehidupan yang dijalaninya.
2.
Tafakkur
Kata- kata lain yang menunjukkan
perintah berpikir dalam Al-Quran adalah Tafakkur. Kata ini tidak
asing bagi telinga umat Islam, karena
memang lafaz ini bagian yang sering
disebutkan Allah dalam Al-Quran. Tafakkur berasal dari kata fakara
yang berarti kekuatan atau daya yang mengantarkan kepada ilmu.[10]
Dengan kata lain bahwa tafakkur adalah proses menggunakan daya akal (‘aql)
untuk menemukan ilmu pengetahuan. Istilah fikr memiliki beberapa makna
yang berdekatan. Di antaranya ialah al-tafakkur, al-Tadhakkur, al-tadabbur,
nadzar, ta’ammul, i’tibar, dan istibshar. Ibn al-Qayyim
mengatakan bahwa tafakkur adalah proses memahami kebenaran suatu
perintah antara yang baik (al-khair) dan yang buruk (al-sharr) untuk mengambil
manfaat dari yang baik-baik serta bahaya dari suatu keburukan. Adapun objek
kajian berpikir (tafakkur) ialah ilmu. Sebab, berpikir berarti upaya
untuk mencari ilmu pengetahuan, maka konsep berpikir juga memiliki makna
relasional dengan konsep ilmu (‘ilm) dalam al-Qur’an. Untuk itu, orang
yang selalu berpikir tentang suatu ilmu disebut ‘arif atau ‘alim.
Kata ‘arif dan alim memiliki lawan kata jahil (orang yang tidak
tahu). Maksudnya, orang yang tidak berilmu tidak dapat dijadikan sandaran
menuju kebenaran karena ia tidak tahu hakekat ilmu.[11]
3. Al-Tadabbur
Tadabbur
merupakan istilah yang datang dari bahasa Arab. Istilah tadabbur
merupakan bentuk derivasi dari kata dasar dabara yang artinya melihat
apa yang terjadi di balik suatu masalah. Selain itu, kata tersebut juga
memiliki makna leksikal “menyuruh (al-amr), memerintah (walla)”.
Dari kata dasar dabara juga menurunkan istilah lain yaitu altadbir
yang berarti memikirkan (al-tafkir) apa yang ada di balik sesuatu.
Selain itu didapatkan juga istilah al-tadbir yang artinya membebaskan
budak dari keterbelakangan atau terbebasnya seorang budak dari perbudakan setelah
kematian tuannya.[12]
Hal tersebut senada dengan perkataan Ibnu Katsir bahwa tadabbur berarti
memahami suatu makna dari lafaz-lafaz yang ada, serta memikirkan makna dari tanda-tanda
(ayat) yang ada dalam Al-Qur’an dan mengambil manfaat dari makna tersebut
melalui hati (qalb) serta menjadikannya pengalaman atau ilmu baru dengan
penuh keyakinan. Ahmad Ibnu Faris mengatakan bahwa tadabbur juga
memiliki arti kemuliaan (al-karam)[13]
Jadi, dalam konteks semantik leksikal tadabbur dan hubungannya dengan Al-Qur’an
tidak berarti membaca dan menghafal ayat-ayatnya saja. Lebih dari itu,
sebagaimana yang disampaikan oleh Abu Bakar al-Ajiry bahwa tadabbur ialah
mengamalkan dalam kehidupan mengenai apa yang dihasilkan dari proses memikirkan
ayat-ayat Allah Swt.[14]
Dalam Al-Qur’an kata tadabbur dalam hubungannya dengan proses berpikir
terdapat sebanyak 4 kali, masing-masing dalam 4 surat dan 4 ayat [Q. S. An-Nisa’
: 82, Muhammad : 24, al-Mu’minun : 68, dan Shad : 29]. Dan
jika ditelaah tentang obyek yang menjadi sasaran tadabbur ini, maka
objek kajian dalam beberapa ayat tersebut mencakup tentang wahyu Allah (Al-Qur’an)
dan tanda-tanda kebesaran Allah yang
lainnya. Adapun term yang digunakan dalam ayat tersebut ialah afala
yatadabbarun dan afala yaddabbaru al-qaula. Artinya, kedua bentuk
berpikir tersebut menunjukkan akan perintah berpikir mengenai makna yang
terkandung (baik tersurat atau pun tersirat) dalam ayat Al-Qur’an.[15]
4.
Al. Ta’aqqalu
Kata
ta’aqqul ditinjau dari segi kebahasaan memiliki beberapa makna. Secara
leksikal kata ta’aqqul berasal dari kata dasar ‘aqala yang memiliki
makna berpikir. Kata ‘aqala dalam bentuk kata kerja (fi’l) berarti habasa yang
berarti mengikat atau menawan. Orang yang menggunakan akalnya disebut dengan
‘aqil atau orang yang dapat mengikat dan menahan hawa nafsunya. Dalam Mu’jam
Al-Maqayis fi Al-Lughah mengatakan bahwa semua kata yang memiliki akar kata
yang terdiri dari huruf ‘ain, qaf, lam menunjuk kepada arti kemampuan
mengendalikan sesuatu, baik berupa perkataan, pikiran, maupun perbuatan. Adapun
konsep ta’aqqul membentuk derivasi seperti;‘aqala-ya’qilu sebagai
kata kerja, ‘aql sebagai daya berpikir, ‘aqil menunjuk kepada
orang yang berpikir. Sedangkan objek yang masuk akal seringkali disebut dengan ma’qul.
[16]
Sedangkan
ta’aqqul berarti aktifitas berpikir berdasarkan pengertian di atas dapat
dipahami bahwa orang yang berakal atau orang yang menggunakan daya akalnya
dengan baik pada dasarnya ia adalah orang yang mampu mengikat hawa nafsunya,
sehingga hawa nafsunya tidak dapat menguasai dirinya. Selain itu, orang yang
berpikir juga akan dapat mengendalikan dirinya terhadap dorongan nafsu dan juga
dapat memahami kebenaran agama. Sebab, orang yang dapat memahami kebenaran
agama hanyalah orang yang tidak dikuasai oleh hawa nafsunya. Adapun sebaliknya
adalah orang yang dikuasai oleh hawa nafsunya tidak dapat memahami agama dengan
baik dan sempurna [Q.S. Muhammad : 16].[17]
Berdasarkan
penggunaan ‘aql dalam berbagai susunannya dapat dijelaskan beberapa
kelompok penggunaannya. Terdapat 14 ayat digunakan untuk memikirkan dalil dan
dasar keimanan. [Q. S : Al-Baqarah : 76, 75, 170, 171. Al-Maidah
: 103, Yunus 100, Hud : 51, Al-Anbiya’ : 67, Al-Furqan :
44, Al-Qasas : 60, Yasin : 62, Al-Zumar :43, Al-Hujurat
: 4, Al-Hashr : 14]. Kemudian dalam 12 ayat kata ‘aql digunakan
untuk memikirkan dan memahami alam semesta serta hukum-hukumnya (sunnatullah).
[Q. S. Al-Baqarah : 164, Al-Ra’d : 4, Al-Nahl : 12, 67, Al-Mu’minun
: 78, Al-Syu’ara’ : 28, Al-Qasas : 60, Al-Ankabut :
63, Al-Rum : 24, Al-Shaffat : 138, Al-Hadid : 170, Al-Mulk
: 10]. Dalam 8 ayat lainnya, kata ‘aql dihubungkan dengan pemahaman
terhadap peringatan dan wahyu Allah SWT.
[Q. S Yusuf : 2, Al-Baqarah : 32, 44, Ali Imran : 65, Yunus
: 16, Al-Anbiya’ : 10, Al-Zukhruf : 3, Al-Mulk : 10].
Dalam 7 ayat, dihubungkan dengan pemahaman terhadap proses sejarah keberadaan
umat manusia di dunia. [Q. S. Al-Hajj : 45-46, Yusuf : 109,
Hud : 51, Al-Anfal : 22, Yunus : 10, Al-Nur : 61, Yasin
: 68]. Lalu dalam 6 ayat dihubungkan dengan pemahaman terhadap kekuasaan Allah
SWT. [Q. S. Al-Baqarah : 73, 242, Al-An’am : 32, Al-Syu’ara’
: 28, Al-Ankabut : 35, Al-Rum : 28]. Dalam 1 ayat dihubungkan
dengan pemahaman terhadap hukum-hukum yang berkaitan dengan moral. [Q.S. Al-An’am
: 151] Sedangkan dalam 1 ayat dihubungkan dengan pemahaman terhadap makna
ibadah, seperti shalat. [Q. S. Al-Ma’idah : 58].[18]
C.
Perbedaan
Jenis Berpikir Dalam Alqur’an
Tadzakkur artinya
mengambil pelajaran dan tafakkur berarti memikirkan atau
mengamati. Tadzakkur yang menjadi tempat persinggahan hati
merupakan pasangan inabah. Allah befirman, “Dan,
tiadalah yang mau mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang kembali (kepada
Allah).” (Al-Mukmin: 13).Tadzakkur ini merupakan sifat
yang khusus bagi orang-orang yang mau berpikir dan berakal, sebagaimana
firman-Nya,“Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil
pelajaran.” (ArRa’d: 19). Adzakkur dan tafakkur merupakan
dua tempat persinggahan yang membuahkan berbagai macam ma’rifat, hakikat iman
dan kebajikan.
Tadzakkur merupakan
wujud, karena ia ada setelah ada tafakkur, yang bisa hilang
karena lupa. Jika ingat, maka tadzakkur ini pun ada.Tadzakkur merupakan kata aktiva dari dzikr (ingat), kebalikan
dari lupa. Artinya hadirnya gambaran sesuatu yang diingat dan diketahui di
dalam hati. Kedudukan tadzakkur di samping tafakkur sama
dengan kedudukan perolehan sesuatu yang dituntut setelah memeriksa dan
menyelidikinya. Karena itu ayat-ayat Allah yang dibaca dan dapat disaksikan
merupakan peringatan, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat-Nya yang
dibaca, “Dan, sesungguhnya telah Kami berikan petunjuk kepada Musa, dan
Kami wariskan Taurat kepada Bani Israel, agar menjadi petunjuk dan peringatan
bagi orang-orang yang berpikir.” (Al-Mukmin: 53-54).
Allah befirman dalam ayat-ayat-Nya yang bisa disaksikan, “Maka
apakah mereka tidak melihat langit yang ada di atas mereka,bagaimana Kami
meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai
retak-retaksedikitpun? Dan, Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya
gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang
indah dipandang mata, untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap
hamba yang kembali (mengingat Allah).” (Qaf: 6-8).[19]
Tadabbur adalah salah satu cara untuk memahami Al-Qur’an.
Kitab-kitab Tafsir yang kita kenal dan kita baca sekarang adalah hasil usaha
yang optimal dari para ulama dalam mentadabburi dan memahami Aquran.
Tadabbur menurut bahasa berasal dari kata دبــر yang
berarti menghadap, kebalikan membelakangi. Tadabbur menurut ahli bahasa Arab
adalah الـتـفـكّـر memikirkan. Maka, tadabbur bisa berarti memikirkan akibat
dari sesuatu atau memikirkan maksud akhir dari sesuatu. Sedangkan, tadabbur
menurut istilah adalah “penelaahan universal yang bisa mengantarkan kepada
pemahaman optimal dari maksud suatu perkataan “.Tadabbur (penelaahan) Al-Qur’an
diperintahkan oleh Allah swt dan ini adalah salah satu cara berinteraksi
(ta’amul) dengan Al-Qur’an. Allah berfirman pada surat As Shaad : 29. Artinya :
“Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang
yang mempunyai pikiran.”Kemudian Allah SWT menjelaskan bahwa Dia telah
menurunkan Alquran kepada Rasulullah dan pengikut-pengikutnya. Alquran itu
adalah kitab yang sempurna mengandung bimbingan yang sangat bermanfaat kepada
umat manusia. Bimbingan itu menuntun agar hidup sejahtera di dunia dan
berbahagia di akhirat. Dengan merenungkan isinya, manusia akan menemukan
cara-cara mengatur kemaslahatan hidup di dunia. Tamsil ibarat dan kisah dari
umat terdahulu menjadi pelajaran dalam menempuh tujuan hidup mereka dan
menjauhi rintangan dan hambatan yang menghalangi. Alquran itu diturunkan dengan
maksud agar direnungkan kandungan isinya, kemudian dipahami dengan pengertian yang
benar, lalu diamalkan sebagaimana mestinya. Pengertian yang benar diperoleh
dengan jalan mengikuti petunjuk-petunjuk Rasul, dengan dibantu oleh Ilmu
Pengetahuan yang dimiliki, baik yang berhubungan dengan bahasa ataupun yang
berhubungan dengan perkembangan kemasyarakatan. Begitu pula dalam mendalami
petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam kitab itu, hendaknya dilandasi tuntunan
Rasul serta berusaha untuk menyemarakkan pengalamannya dengan ilmu pengetahuan
hasil pengalaman dan pemikiran mereka.[20]
D. Berpikir Kritis dalam Islam
Islam,
bukanlah agama tanpa akal. Banyak ayat yang mewakili statement
pemakalah. Kehadiran akal untuk
menimbang, bagaimana ada upaya berpikir
secara kritis dengan landasan yang dapat
dipertanggung jawabkan. Dalam konsep Islam dan
sejarah yang di tuangkan Al-Quran dan hadis, banyak informasi yang menerangkan bahwa manusia dituntut
berpikir kritis. Kisah dialog malaikat
dengan Allah, terkait penciptaan Adam. Kisah
Musa yang berguru dengan nabi
Khadir, itu bagian yang tidak bisa diabaikan dalam menggambarkan
sikap kritis para tokoh di dalamnya..
Sebab berpikir krtis juga mempunyai tujuan untuk mendekati Allah dan
menjalankan syariatmya dengan baik dan benar.
Taufik
Hidayat dalam jurnalnya meng analisis terhadap ayat-ayat dengan term Al-Fikr (الفكر), menemukan tujuan berpikir dalam
Al-Al-Quran sebagai berikut: a. Mendapatkan Kebenaran; Berdasarkan asbab nuzul
surah Al-Mudaṡṡir ayat 18, ayat ini mengecam sikap Al-Walid Al-Mugirah
yang telah berpikir jernih dan menemukan kebenaran namun malah berpaling karena
dorongan nafsu dan duniawi.[21]
Maka dari itu tujuan berpikir yaitu agar menemukan kebenaran sebagaimana yang
sempat dirasakan Al-Walid walaupun pada akhirnya ia malah berpaling, padahal
sempat berpikir dengan baik dan mendapatkan kebenaran. Surah Al-Arf ayat
176 juga terdapat kaitannya dengan Al-Mudaṡṡir ayat 18 karena mengecam orang
yang menuruti hawa nafsunya, padahal seandainya ia tidak mengikuti hawa nafsu
kemudian mengikuti kebenaran niscaya Allah akan meninggikan derajatnya.[22]
Begitulah yang terjadi terhadap Al-Walid. Allh memerintahkan untuk menceritakan
kisah-kisah tersebut agar dipikirkan sehingga mendapatkan kebenaran. Dalam
surah Al-An’m ayat 50, ayat ini memerintahkan manusia berpikir agar mendapatkan
kebenaran dan terhindar dari kesesatan/takhayul. Ayat ini berusaha meluruskan
pandangan sesat kaum Quraisy tentang kenabian, maka mereka diperintahkan untuk
berpikir kembali. Bahkan Allah menyindir bahwa tidak sama orang yang berpikir
dengan yang tidak, ibarat orang yang buta dengan orang yang melihat.[23]Dalam
surah An-Nal ayat 44 ditemukan bahwa ayat ini merupakan penegasan kenabian
supaya mereka memikirkannya sehingga dapat mengetahui kebenaran tentang apa
yang dibawa rasul pada mereka yaitu wahyu dan syariat. Apa yang dibawa rasul
adalah peringatan dan membawa kebaikan, maka hendaklah mereka memikirkannya.[24]
b.
Mengamalkan Syariat Islam; Sebelum mengamalkan syariat Islam, manusia harus
meyakini terlebih dahulu bahwa syariat Islam adalah benar begitupun dengan
orang yang membawa risalahnya. Al-Qur’an mengajak manusia memikirkan bahwa Nabi
Muhammad Saw adalah benar bukanlah pendusta. Al-Arf ayat 184 membantah
tuduhan buruk kaum Quraisy terhadap Nabi Muhammad Saw.[25]
Surah Saba’ ayat 46 mengajak mereka untuk memikirkan kembali siapa sebenarnya
Nabi Muhammad Saw (Hamka, 1988, hlm. 190).[26]
Kesimpulan
Islam
adalah agama kritis. Dia bukan hanya sesuai dengan kehidupan manusia, tapi
Islam juga memahami seluk belumnya. Islam disebut juga sebagai agama rahmatil
alamin, karena nilai –nilai yang
terkandung didalmnya mengajak manussia sesuai dengan fitrah. Inilah yang
membedakan Islam dengan agama lain, yang bersifat doctrinal. Sedangkan agama Islam membuka dirinya untuk
didiskusikan dan diuji kebenaran. Walaupaun ada wilayah tertentu iman lebih
dikedepankan, namun agama sejalan
dengan potensi manusia dan nilai luhur
yang ditanamkan padanya.
Islam
adalah satu-satunya mengajak umat untuk berpikir kritis. Ini yang sangat
menarik. Dimana agama lain, menutup ruang dialog dan kritis, tapi tidak bagi Islam, Bahwa bahyak ayat Al-Quran yang mengajak manusia untuk berpikir, terkadang Allah menyendir manusia yang tidak menggunakan
akal fikiran. Manusia diberikan akal
sebagai senjata utama dalam menimbang dan menilai sesuatu, dengan didorong oleh
kita suci dan sunnah rasul, Allah
mengarahkan manusia menggunakan
semua daya yang dimiliki untuk menemukan
jati dirinya dan Allah melalui ciptaan. Menerima sesuatu tanpa mengunakan akal
dikecam oleh Allah. Dengan demikian
berpikir dan beriman satu bagian yang saling mendukung. Tidak ada
larangan utuk hal ini. Namun untuk menjaga nalar tidak bebas dan liar tanpa
kontrol, diperlukan unsur agama. Umumnya setiap agama mempunyai sumber ajaran.
Dalam konteks Islam sumber ajaran umat adalah Al-Quran. Jika Akal diupayakan untuk mengetahui sebuah kebenaran otentik dengan cara berpikir
kritis, maka agama menjadi jaminan dan
menuntun kegelisahan pikiran agar tidak keluar jalur fitrah.
DAFTAR
PUSTAKA
As
Sirjani, Raghib. Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia. Jakarta: Alkautsar,
2012..
Al-Ashfahany,
Al- Raghib. Al Mufradat Fi Gharib Al Quran. Beirut: Nadzar Al Mustafa
al-Baz, tt.
Al-Jazairi.
Tafsir Al-Quran Al-Aisar, Suratman, Penerj. Jakarta: Darus Sunnah Press,
2010.
Hamka. Tafsir Al-Azhar.
Jakarta: Panji Mas, 1993..
Hidayat,Taufik. Konsep
Berpikir (Al-Fikr) Dalam Alquran Dan
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Pai
Di Sekolah (Studi Tematik tentang Ayat-ayat yang Mengandung Term
al-Fikr) Tarbawi, Vol. 3, Nomor 1,
2016.
http://www.fimadani.com/tadzakkur-dan-tafakkur/
https://d1399.wordpress.com/2012/05/11/tadabbur-dan-tafakur/
Ismail,
Muhammad “Konsep Berpikir Dalam AL-Quran Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Akhlak,” dalam
Ta’dib, vol.XIX, no.02, edisi Nopember 2014..
Ibn Faris,Ahmad. Mu’jam Maqayis Al- Lughah. Dar-Al-Fikri,1979.
Khuttub, Sayyid. Tafsir Fizhilalil Quran. Jakarta:
Gema Insani, 2000.
Mandzur,Ibn. Lisan Al-Arab. Al-Qahirah:
Dar-Almarif,1979.
Shihab, Quraish. Tafsir
al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati, 2009.
[1] Raghib As Sirjani, Sumbangan
Peradaban Islam Pada Dunia (Jakarta: Alkautsar, 2012) h. 103.
[2] Ibid.
[3]
Ibid., 106-107
[4]
Muhammad Ismail, “Konsep Berpikir Dalam AL-Quran Dan
Implikasinya Terhadap Pendidikan Akhlak,”
dalam Ta’dib, vol.XIX, no.02, edisi Nopember 2014, h. 293.
[5] Al- Raghib Al-Ashfahany, Al
Mufradat Fi Gharib Al Quran ( Beirut: Nadzar Al Mustafa al-Baz, tt), h.237.
[6]Ismail, Konsep Berpikir,
h. 293.
[7]Sayyid Khuttub,Tafsir Fizhilalil
Quran (Jakarta: Gema Insani, 2000), h.168.
Ismail, Konsep Berpikir,
h. 293.
[9] Ismail, Konsep berpikir,
h. 294-295
[10]Al-Ashfahani, Al Mufrodat,
h.496.
[11] Ismail, Konsep Berpikir,
h. 296.
[12]Ibn Mandzur, Lisan Al-Arab
(Al-Qahirah: Dar-Almarif,1979), h. 1321.
[13] Ahmad Ibn Faris, Mu’jam Maqayis Al- Lughah (Dar-Al-Fikri,1979),
h. 325.
[14]Ismail, Konsep Berpikir,
h. 300.
[19] http://www.fimadani.com/tadzakkur-dan-tafakkur/
diakses, tanggal 20 Juli 2017
[20] https://d1399.wordpress.com/2012/05/11/tadabbur-dan-tafakur/
diakses 20 Juli 2017
[21]Hamka, Tafsir Al-Azhar (
Jakarta: Panji Mas, 1993), h. 209.
[22]Al-Jazairi, Tafsir Al-Quran
Al-Aisar, Suratman, Penerj. (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2010), h. 212.
[23] Quthb, Tafsir Fi Dzilalil,
h.93.
[24] Taufik Hidayat, Konsep
Berpikir (Al-Fikr) Dalam Alquran Dan
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Pai
Di Sekolah (Studi Tematik tentang Ayat-ayat yang Mengandung Term
al-Fikr) Tarbawi, Vol. 3, Nomor 1,
2016, h. 3.
[25]Quraish Shihab, Tafsir
al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2009), h.327.
[26]
Hamka, Tafsir, h.190.
Posting Komentar
0 komentar
Dear readers, after reading the Content please ask for advice and to provide constructive feedback Please Write Relevant Comment with Polite Language.Your comments inspired me to continue blogging. Your opinion much more valuable to me. Thank you.