
Manusia adalah mahkluk yang unik. Kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar sangat cepat, termasuk
merespon sesuatu yang datang dari luar.
Kesanggupan menyesuaikan diri dalam berbagai keadaan menjadikan manusia penuh dengan kreativitas. Elastisitas kehidupan manusia juga tercermin dalam hubungan insan dengan Allah, salah satu
bentuk hubungan yang dijalin Allah kepada manusia adalah antara hamba dan Khalik.
Sebagai Pencipta, Dia memberikan perintah
dan syariat tidak semuanya sama. Semenjak
dari nabi Adam sampai Muhammad. Sebagaimana yang disampaikan Qomarudin, dalam
bukunya “Psikologi Beragama”. Namun ada satu yang tidak berubah dalam semua
misi yang dibawa oleh para Rasul yakni
tauhid. Ajaran keimanan yang dibawa oleh mereka seiring berjalannya waktu tetap
tidak berubah, sifatnya statis. Namun aplikasi keimanan tersebut yang mengalami perubahan. Yang menarik dari
semuan perintah Allah, setiap manusia
menjalankan titah diberikan satu kata kunci yaitu “berdasarkan
kesanggupan”. Secara psikologi, Al-qur’an mengakomodir karakter dan ketahanan manusia dalam menjalan
misi kepatuhan. Contoh yang sederhana, haji bagian dari salah satu rukun Islam. Dalam konteks kesanggupan tidak semua umat Islam mampu
melakukan, karena berhubungan dengan kesiapan lahir-batin, fisik dan psikis.
Begitu juga dengan pelaksanaan sholat, berdiri tegak adalah opsi pertama
untuk menghadapNya. Namun duduk,
berbaring dan isyarat juga bagain opsi lain yang diberikan kepada kaum beriman.
Dari beberapa contoh di atas, betapa Allah sangat toleran dengan perintahNya. Setiap
satu jalan tidak mampu dilalui sebagian hambaNya, Dia menyiapkan opsi atau
pintu lain untuk menemui. Begitu banyak saluran menuju Allah, hal ini juga ditandai
dengan jumlah pintu surga, ternyata surga tidak hanya dilalui satu amalan dan
karakter tunggal. Tuhan memberikan opsi lebih dari satu untuk menemuiNya
Kehidupan manusia sangat damai, bila memberikan ruang untuk
menerima perbedaan tanpa harus meninggalkan prinsip. Sikap merasa benar dengan
amalan dengan menjatuhkan sikap
beribadah kelompok lain bagian dari sikap kesombongan paham agama. Dari narasi
di atas, umumnya sikap egoisme keberagamaan lahir dikarenakan: Pertama,
Rendahnya nilai Ilmu. Semakin dalam ilmu seseorang, semakin bijak dalam melihat dan menyelesaikan
masalah. KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU) dan KH. Ahmad Dahlan (Pendiri
Muhammadiyah), mereka hidup sezaman bahkan pernah satu asrama. Hasyim Asy’ari
lebih cendrung ke kajian hadis sedangkan K.H Ahmad Dahlan lebih kepada
pemikiran dan pergerakan, Pada Satu titik tertentu, dari buah pengabdian mereka
kepada agama, Ahmad Dahlan melahirkan Muhammadiyah, Hasyim Asy’ari meahirkan
NU. Walau dalam konsep pemahaman agama
mereka berbeda hukum fiqh, tapi dalam
konteksnya mereka tetap saling menghormati antara satu dengan yang lain.
Umumnya terjadinya gejolak dan benturan pemikiran yang berujung
anarkis ada pada level akar rumput, sedangkan dilevel tinggi mereka bisa saling
menghormati. Kalau diurut ke belakang, kelompok para imam mazhab, Imam syafii dan hambali hidup sezaman, Tidak
jarang berbeda dalam mengambil istimbat hukum, tapi penulis belum ada menjumpai
sebuah sumber referensi antara kedua imam ini saling menyerang dan mengucilkan
pandangan diantara mereka apalagi memberikan label-label negative. Ini
menandakan keluasan ilmu mereka sehingga
arif dalam melihat suatu perbedaan, dan saling menghormati. Prilaku inilah yang
layak dijaga dan dipelihara oleh para
ahli ilmu. Tidak menggunakan ego ilmu dalam
menimbang orang lain,
kemudian menjustifikasi sebuah kebenaran
berdasarkan opini sendiri. praktek semacam ini menjadi penghalang penyatuan
umat. Disadari bersama bahwa umat yang satu bukan dalam pengertian
berorganisasi satu, berpaham tunggal,
tapi kesatuan umat dilihat dari berbagai macam warna kulit, paham, organisasi
dan kultur namun spirit keagamaannya
tetap menjadi bagian integral yang tidak terpisahkan dalam kehidupan
orang lain. Berbeda dalam fiqh, tapi
tetap menyatu dalam muamalah, tujuan politik, ekonomi dan lainnya. Ilmu
mempunyai peran yang sangat startegis dalam membingkai sikap seseorang lebih
bijak melihat orang lain berbeda dengan dirinya. Dalam istiliah komunikasi,
seseorang dapat dipahami dan dimaklumi apa yang dibicarakan dengan menggunakan
konsep berpikir dari lawan bicara, sehingga ada sikap lapang dada dan “nrimo”.
Sedangkan yang kedua, keluasan pergaulan, Ada satu pandangan” seseorang yang hidup
berorganisasi atau luas pergaulan akan lebih mudah menerima pandangan berbeda
dibandingkan orang lain, Sebab dalam dua
hal di atas, dia selalu dihadapkan dengan pandagan dan pendapat orang lain, yang
pendapat tersebut belum disetujui. Disitulah diajarkan hidup dengan mengikuti
pandangan orang lain, atau sejalan dengan idenya. Begitu juga dalam kehidupan
beragama, sikap terbuka dan lapang dada
dengan kondisi sekitar menjadikan
seseorang lebih bijak dalam bersikap dan berempati dengan sesama. Perintah Allah, Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Qs. al-Hujurat: 13). Mengenal dalam arti yang positif dimaknai
dengan menghargai satu dengan yang lain, tidak bersifat kolonialisasi sebagaimana
yang terjadi di era penjajahan. Proses perkenalan bukan hanya terletak
pada bentuk fisik tapi pemikiran dan
ideologi, Pada level inilah sering
terjadi benturan. Namun fakta
dilapangan, seseorang yang pergaulan
luas, tempat tinggalnya lebih heterogen, akan lebih mudah mendialogkan perbedaan dibandingkan
sebaliknya. Bukan dalam pengertian harus menyatukan atau memaksakan satu pendapat
kepada yang lain, tapi lahirnya sikap toleran dalam makna sebenarnya. Sama
halnya dengan pasangan suami istri. Lahir dari keluarga dan pengajaran yang
berbeda, tentu ketika serumah banyak dijumpai rasa perbedaan, tapi karena
berangkat dan dimulai dengan cinta, ada yang bisa dikompromikan. Terkadang sang suami yang mengikuti pandangan
dan sepakat pandangan si istri begitu
juga sebaliknya.
Sikap beragama seperti ini menjadi sebuah cita-cita. Sebab egoisme
beragama adalah penyakit. Melihat
seluruh aspek keagamaan
berdasarkan egonya sendiri, tanpa memberikan kesempatan ego orang lain untuk
berbicara dan didengarkan dan ini layak untuk dhindari. Wallahu a’lam.
Posting Komentar
0 komentar
Dear readers, after reading the Content please ask for advice and to provide constructive feedback Please Write Relevant Comment with Polite Language.Your comments inspired me to continue blogging. Your opinion much more valuable to me. Thank you.