0





Manusia adalah mahkluk yang unik. Kemampuan untuk beradaptasi  dengan lingkungan sekitar sangat cepat, termasuk merespon sesuatu yang datang dari luar.  Kesanggupan menyesuaikan diri dalam berbagai keadaan  menjadikan manusia penuh dengan  kreativitas. Elastisitas  kehidupan manusia  juga tercermin dalam  hubungan insan dengan Allah, salah satu bentuk hubungan yang dijalin Allah kepada manusia adalah antara hamba dan Khalik. Sebagai  Pencipta, Dia memberikan perintah dan syariat  tidak semuanya sama. Semenjak dari nabi Adam sampai Muhammad. Sebagaimana yang disampaikan Qomarudin, dalam bukunya “Psikologi Beragama”. Namun ada satu yang tidak berubah dalam semua misi yang  dibawa oleh para  Rasul  yakni tauhid. Ajaran keimanan yang dibawa oleh mereka seiring berjalannya waktu tetap tidak berubah, sifatnya statis. Namun aplikasi keimanan tersebut yang   mengalami perubahan. Yang menarik dari semuan perintah Allah, setiap manusia  menjalankan titah diberikan satu kata kunci yaitu “berdasarkan kesanggupan”. Secara psikologi, Al-qur’an mengakomodir  karakter dan ketahanan manusia dalam menjalan misi kepatuhan. Contoh yang sederhana, haji bagian dari salah satu rukun  Islam. Dalam konteks  kesanggupan tidak semua umat Islam mampu melakukan, karena berhubungan dengan kesiapan lahir-batin, fisik dan psikis. Begitu juga dengan pelaksanaan sholat, berdiri tegak adalah opsi pertama untuk  menghadapNya. Namun duduk, berbaring dan isyarat juga bagain opsi lain yang diberikan kepada kaum beriman. Dari beberapa contoh di atas, betapa Allah sangat toleran dengan perintahNya. Setiap satu jalan tidak mampu dilalui sebagian hambaNya, Dia menyiapkan opsi atau pintu lain untuk menemui. Begitu banyak saluran menuju Allah, hal ini juga ditandai dengan jumlah pintu surga, ternyata surga tidak hanya dilalui satu amalan dan karakter tunggal. Tuhan memberikan opsi lebih dari satu untuk  menemuiNya

Kehidupan manusia sangat damai, bila memberikan ruang untuk menerima perbedaan tanpa harus meninggalkan prinsip. Sikap merasa benar dengan amalan dengan  menjatuhkan sikap beribadah kelompok lain bagian dari sikap kesombongan paham agama. Dari narasi di atas, umumnya sikap egoisme keberagamaan lahir dikarenakan: Pertama, Rendahnya  nilai Ilmu. Semakin  dalam ilmu seseorang, semakin  bijak dalam melihat dan menyelesaikan masalah. KH. Hasyim Asy’ari         (Pendiri NU) dan KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), mereka hidup sezaman bahkan pernah satu asrama. Hasyim Asy’ari lebih cendrung ke kajian hadis sedangkan K.H Ahmad Dahlan lebih kepada pemikiran dan pergerakan, Pada Satu titik tertentu, dari buah pengabdian mereka kepada agama, Ahmad Dahlan melahirkan Muhammadiyah, Hasyim Asy’ari meahirkan NU.  Walau dalam konsep pemahaman agama mereka berbeda  hukum fiqh, tapi dalam konteksnya mereka tetap saling menghormati antara satu dengan yang lain.

Umumnya terjadinya gejolak dan benturan pemikiran yang berujung anarkis ada pada level akar rumput, sedangkan dilevel tinggi mereka bisa saling menghormati. Kalau diurut ke belakang, kelompok para imam mazhab,  Imam syafii dan hambali hidup sezaman, Tidak jarang berbeda dalam mengambil istimbat hukum, tapi penulis belum ada menjumpai sebuah sumber referensi  antara  kedua imam ini saling menyerang dan mengucilkan pandangan  diantara mereka apalagi  memberikan label-label negative. Ini menandakan  keluasan ilmu mereka sehingga arif dalam melihat suatu perbedaan, dan saling menghormati. Prilaku inilah yang layak dijaga dan dipelihara  oleh para ahli ilmu. Tidak menggunakan ego ilmu dalam  menimbang  orang lain, kemudian  menjustifikasi sebuah kebenaran berdasarkan opini sendiri. praktek semacam ini menjadi penghalang penyatuan umat. Disadari bersama bahwa umat yang satu bukan dalam pengertian berorganisasi satu,  berpaham tunggal, tapi kesatuan umat dilihat dari berbagai macam warna kulit, paham, organisasi dan kultur namun spirit keagamaannya  tetap menjadi bagian integral yang tidak terpisahkan dalam kehidupan orang lain. Berbeda dalam fiqh, tapi  tetap menyatu dalam muamalah, tujuan politik, ekonomi dan lainnya. Ilmu mempunyai peran yang sangat startegis dalam membingkai sikap seseorang lebih bijak melihat orang lain berbeda dengan dirinya. Dalam istiliah komunikasi, seseorang dapat dipahami dan dimaklumi apa yang dibicarakan dengan menggunakan konsep berpikir dari lawan bicara, sehingga ada sikap lapang dada dan “nrimo”.

Sedangkan yang kedua, keluasan pergaulan,  Ada satu pandangan” seseorang yang hidup berorganisasi atau luas pergaulan akan lebih mudah menerima pandangan berbeda dibandingkan orang lain, Sebab  dalam dua hal di atas,  dia selalu dihadapkan  dengan pandagan dan pendapat orang lain, yang pendapat tersebut belum disetujui. Disitulah diajarkan hidup dengan mengikuti pandangan orang lain, atau sejalan dengan idenya. Begitu juga dalam kehidupan beragama,  sikap terbuka dan lapang dada dengan  kondisi sekitar menjadikan seseorang lebih bijak dalam bersikap dan berempati dengan sesama. Perintah Allah, Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Qs. al-Hujurat: 13).  Mengenal dalam arti yang positif dimaknai dengan menghargai satu dengan yang lain, tidak bersifat kolonialisasi sebagaimana yang terjadi di era penjajahan. Proses perkenalan bukan hanya terletak pada  bentuk fisik tapi pemikiran dan ideologi,  Pada level inilah sering terjadi benturan.  Namun fakta dilapangan, seseorang yang  pergaulan luas, tempat tinggalnya lebih heterogen, akan lebih mudah  mendialogkan perbedaan dibandingkan sebaliknya. Bukan dalam pengertian harus menyatukan atau memaksakan satu pendapat kepada yang lain, tapi lahirnya sikap toleran dalam makna sebenarnya. Sama halnya dengan pasangan suami istri. Lahir dari keluarga dan pengajaran yang berbeda, tentu ketika serumah banyak dijumpai rasa perbedaan, tapi karena berangkat dan dimulai dengan cinta, ada yang bisa dikompromikan.  Terkadang sang suami yang mengikuti pandangan  dan sepakat pandangan si istri begitu juga sebaliknya.

Sikap beragama seperti ini menjadi sebuah cita-cita. Sebab egoisme beragama adalah penyakit. Melihat  seluruh aspek  keagamaan berdasarkan egonya sendiri, tanpa memberikan kesempatan ego orang lain untuk berbicara dan didengarkan dan ini layak untuk dhindari. Wallahu a’lam.








 

Posting Komentar

Dear readers, after reading the Content please ask for advice and to provide constructive feedback Please Write Relevant Comment with Polite Language.Your comments inspired me to continue blogging. Your opinion much more valuable to me. Thank you.