0


Mulutmu adalah harimaumu. Ungkapan ini sering  didengar, sebagai suatu isyarat untuk menjaga setiap perkataan yang keluar dari mulut seseorang. Tuhan menciptakan  sepasang telinga, jumlahnya lebih banyak dibandingkan mulut, hanya satu. Filosofinya Dia mengajarkan kepada manusia untuk lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Mungkin kita mampu menjadi pembicara yang baik, tapi belum tentu  sanggup jadi  pendengar yang  baik. Disaat pendengaran digunakan secara bersamaan  dituntut untuk diam. Kata diam bisa bermakna positip bisa juga diartikan negatif, tergantung dimana dan kapan kata ini diaplikasikan.
Ada tiga jenis diam yang dijelaskan oleh Khalil Al-Musawi dalam bukunya Kaifa Tatasharruf bi Hikmah. Pertama, Diam karena berpikir dan hikmah. Pepatah mengatakan Diam adalah emas. Penulis berpendapat jenis diam pertama inilah yang dimaksud pepatah di atas. Mereka diam karena memang  melihat  keutamaannya lebih besar dari pada bersuara. Contoh diam yang memiliki hikmah adalah diamnya Allamah Thabathabai, penulis Tafsîr Al-Mîzân. Salah satunya murid beliau yang bernama Syekh  Taqi Misbah bercerita, bahwa sedikit orang yang mengetahui kedalaman ilmu Allamah, karena di majelis ia banyak diam. Jika tidak ditanya, ia tidak akan berbicara. Tetapi ketika ia berbicara, barulah seluruh perhatian orang-orang tercurah kepadanya. Mungkin inilah maksud dari ucapan Rasulullah saw., “Jika engkau melihat seorang mukmin diam, maka dekatilah. Karena dia akan menyampaikan hikmah.” (Mîzân Al-Hikmah, jil. 5, hlm. 436). Orang yang dalam ilmu dan kuat imannya akan selalu menjaga perkataan dan menyadari betul tanggung jawab yang dipikulnya karena dia seorang yang alim. Maka setiap yang dikatakannya adalah butiran mutiara hikmah untuk orang lain, dan disaat  diampun mengandung hikmah yang dalam. Sebagaimana firman Allah, aritnya ” Sungguh beruntung orang orang yang beriman. Yaitu orang yang khusyu’ dalam sholatnya dan orang yang menjauhkan diri dari ( perbuatan dan perkataan ) yang tidak berguna ( Al Mu’minun 1-3 )“ Tidak ada suatu kata yang diucapkannya  melainkan ada disisinya malaikat pengawas yang selalu siap ( mencatat ) ” ( Qoof 18 ). Landasan ayat-ayat di atas  menjadi pijakan orang sholeh untuk menjaga setiap ucapannya. Jangan sampai  setiap- kata yang  dikeluarkan menjadi dosa yang mesti harus dia pertanggung jawabkan dihadapan  Sang Khalik. Wasiat  Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Sesungguhnya sedikit bicara adalah kebaikan bagi dirinya, dan banyak bicara adalah dibenci. Tidak akan tergelincir orang yang diam, dan tidak ada yang diperoleh dari orang yang banyak bicara kecuali ketergelinciran.”
Kedua, diam dari amar ma’ruf nahi munkar. Diam yang kedua ini, jelas sangat berbahaya. Ketika kejahatan dan kezaliman semakin meluas, seorang ulama memiliki peran penting, karena (seharusnya) ucapan ulama diikuti oleh orang banyak. Ketika pemimpin pemerintahan bertindak zalim, ulama harus melawan minimal dengan ucapannya. Rasulullah bersabda, “Jihad yang paling utama adalah berkata benar di hadapan penguasa zalim.” Apabila ditelusuri jenis yang kedua ini banyak dijumpai di masyarakat. Mereka diam melihat kemunkaran bahkan  cendrung apatis. Padahal dia tahu sikap yang paling mudah adalah menasehati. Kalau dijaman orde baru dahulu, setiap kritikan, apalagi yang ditujukan kepada penguasa mempunyai resiko yang sangat besar baginya. Sehingga  sebagian orang melihat kesalahan di depan mata hanya mampu diam dan mengelus dada, tanda dia tidak mampu terlalu jauh mengekprsikan kekesalannya. Namun  sekarang sudah jauh  berbeda. Kran demokrasi dibuka seluas-luasnya. Kritikan demi kritikan baik bernuansa positip atau mendiskreditkan dapat disaksikan dan dibaca ditelevisi atau surat kabar. Jadi kalau ada orang diam melihat kemunkaran itu terpulang kepada kesiapan imannya untuk menyampaikan yang haq pada siapapun. Di negeri ini banyak orang pintar dan paham agama tapi tidak nampak dalam kehidupan bernegara yang sangat membutuhkan sikap keadilan dan kejujuran. Disinilah perlu iman yang selalu menjadi acuan dalam bertindak dan mengambil langkah strategis yang dianggap perlu dalam perbaikan umat ke depan.  Dalam hal ini diam  melihat kemunkaran adalah sebuah kesalahan. Diam juga tidak dianggap emas karena di dalamnya tidak terdapat kemaslahatan umum.
Ketiga, diam yang merupakan penyakit atau malu. Ini bisa disebabkan tiga faktor; keturunan, pendidikan, atau lingkungan. Namun ini semua masih bisa diubah jika seseorang menginginkannya. Untuk diam yang ketiga ini dikarena ketidakmampunnya dalam berbicara. Pernahkah kita melihat seseorang dengan tekun menjadi pendengar  dalam sebuah diskusi atau pembicaraan, itu bukan dikarenakan dia memakai makna diam yang pertama, tapi karena dia tidak tahu apa yang dibicarakan bisa juga dia mengalami “trauma psikologi” dimana dia pernah mengalami pengalaman yang pahit, setiap  berbicara selalu disalahkan atau cendrung dianggap tidak berguna. Mungkin itu terjadi ketika dia masih usia belia. Sepantasnya saat itu butuh penghargaan  atau pujian dari setiap kebaikan yang dikatakannya.  Butuh pengarahan yang konstruktif dari setiap kesalahan yang dia ucapkan. Seorang pendiam mungkin juga faktor keturunan, karena bapaknya atau ibunya  seorang pendiam. Memang alasan keturunan harus dikaji lebih intensif lagi. Tetapi jika ditinjau dari sudut pandang  pendidikan, lingkungan termasuk dalam ranah pembentukan karakter. Lingkungan utama dan pertama  adalah keluarga. Jika orang tuanya  cendrung pendiam maka sikap tersebut bisa jadi contoh untuk anggota keluarganya, terkhusus anak.  Baginya ibu dan bapaknya adalah panutan pertama yang patut dia tiru.
Tipologi beragama yang baik, selalu menjaga lidah dari hal-hal yang tidak berguna. Diam dan bicaranya selalu punya makna. Namun tabiat pencela tidak akan pernah berhenti membicarakan orang lain.  Pepatah  orang tua kita dahulu berbunyi “Orang bodoh berbicara selalu mencela orang lain,  yang mulia mencela dirinya sendiri dan yang pandai tidak mencela diri sendiri dan tidak pula mencela orang lain. Dari ketiga jenis diam di atas mari  timbang diri masing-masing  dibagian manakah posisi kita berada.  Atau malah sebaliknya  kita lebih banyak  berbicara daripada diam sehingga kita tidak mampu lagi mendengar nasehat yang baik dari  orang lain. Wallahu a’lam.
Next
Posting Lebih Baru
Previous
This is the last post.

Posting Komentar

Dear readers, after reading the Content please ask for advice and to provide constructive feedback Please Write Relevant Comment with Polite Language.Your comments inspired me to continue blogging. Your opinion much more valuable to me. Thank you.