Mulutmu adalah harimaumu. Ungkapan ini sering didengar, sebagai suatu isyarat untuk menjaga
setiap perkataan yang keluar dari mulut seseorang. Tuhan menciptakan sepasang telinga, jumlahnya lebih banyak
dibandingkan mulut, hanya satu. Filosofinya Dia mengajarkan kepada manusia
untuk lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Mungkin kita mampu menjadi
pembicara yang baik, tapi belum tentu
sanggup jadi pendengar yang baik. Disaat pendengaran digunakan secara
bersamaan dituntut untuk diam. Kata diam
bisa bermakna positip bisa juga diartikan negatif, tergantung dimana dan kapan
kata ini diaplikasikan.
Ada tiga jenis diam yang dijelaskan
oleh Khalil Al-Musawi dalam bukunya Kaifa Tatasharruf bi Hikmah. Pertama,
Diam karena berpikir dan hikmah. Pepatah mengatakan Diam adalah emas. Penulis
berpendapat jenis diam pertama inilah yang dimaksud pepatah di atas. Mereka
diam karena memang melihat keutamaannya lebih besar dari pada bersuara. Contoh
diam yang memiliki hikmah adalah diamnya Allamah Thabathabai, penulis Tafsîr Al-Mîzân. Salah
satunya murid beliau yang bernama Syekh
Taqi Misbah bercerita, bahwa sedikit orang yang mengetahui kedalaman
ilmu Allamah, karena di majelis ia banyak diam. Jika tidak ditanya, ia tidak
akan berbicara. Tetapi ketika ia berbicara, barulah seluruh perhatian
orang-orang tercurah kepadanya. Mungkin inilah maksud dari ucapan Rasulullah
saw., “Jika engkau melihat seorang mukmin diam, maka dekatilah. Karena dia akan
menyampaikan hikmah.” (Mîzân Al-Hikmah, jil. 5, hlm. 436). Orang yang
dalam ilmu dan kuat imannya akan selalu menjaga perkataan dan menyadari betul
tanggung jawab yang dipikulnya karena dia seorang yang alim. Maka setiap yang
dikatakannya adalah butiran mutiara hikmah untuk orang lain, dan disaat diampun mengandung hikmah yang dalam. Sebagaimana
firman Allah, aritnya ” Sungguh
beruntung orang orang yang beriman. Yaitu orang yang khusyu’ dalam sholatnya
dan orang yang menjauhkan diri dari ( perbuatan dan perkataan ) yang tidak
berguna ( Al Mu’minun 1-3 )“ Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada disisinya
malaikat pengawas yang selalu siap ( mencatat ) ” ( Qoof 18 ). Landasan ayat-ayat di atas menjadi pijakan orang sholeh untuk menjaga
setiap ucapannya. Jangan sampai setiap-
kata yang dikeluarkan menjadi dosa yang
mesti harus dia pertanggung jawabkan dihadapan
Sang Khalik. Wasiat Ali bin Abi
Thalib mengatakan, “Sesungguhnya sedikit bicara adalah kebaikan bagi dirinya,
dan banyak bicara adalah dibenci. Tidak akan tergelincir orang yang diam, dan
tidak ada yang diperoleh dari orang yang banyak bicara kecuali
ketergelinciran.”
Kedua, diam dari amar ma’ruf nahi
munkar. Diam yang kedua ini, jelas sangat berbahaya. Ketika kejahatan dan
kezaliman semakin meluas, seorang ulama memiliki peran penting, karena
(seharusnya) ucapan ulama diikuti oleh orang banyak. Ketika pemimpin
pemerintahan bertindak zalim, ulama harus melawan minimal dengan ucapannya.
Rasulullah bersabda, “Jihad yang paling utama adalah berkata benar di hadapan
penguasa zalim.” Apabila ditelusuri jenis yang kedua ini banyak dijumpai di masyarakat.
Mereka diam melihat kemunkaran bahkan
cendrung apatis. Padahal dia tahu sikap yang paling mudah adalah
menasehati. Kalau dijaman orde baru dahulu, setiap kritikan, apalagi yang
ditujukan kepada penguasa mempunyai resiko yang sangat besar baginya.
Sehingga sebagian orang melihat
kesalahan di depan mata hanya mampu diam dan mengelus dada, tanda dia tidak
mampu terlalu jauh mengekprsikan kekesalannya. Namun sekarang sudah jauh berbeda. Kran demokrasi dibuka
seluas-luasnya. Kritikan demi kritikan baik bernuansa positip atau
mendiskreditkan dapat disaksikan dan dibaca ditelevisi atau surat kabar. Jadi
kalau ada orang diam melihat kemunkaran itu terpulang kepada kesiapan imannya
untuk menyampaikan yang haq pada
siapapun. Di negeri ini banyak orang pintar dan paham agama tapi tidak nampak
dalam kehidupan bernegara yang sangat membutuhkan sikap keadilan dan kejujuran.
Disinilah perlu iman yang selalu menjadi acuan dalam bertindak dan mengambil
langkah strategis yang dianggap perlu dalam perbaikan umat ke depan. Dalam hal ini diam melihat kemunkaran adalah sebuah kesalahan.
Diam juga tidak dianggap emas karena di dalamnya tidak terdapat kemaslahatan
umum.
Ketiga, diam yang merupakan penyakit
atau malu. Ini bisa disebabkan tiga faktor; keturunan, pendidikan, atau
lingkungan. Namun ini semua masih bisa diubah jika seseorang menginginkannya. Untuk
diam yang ketiga ini dikarena ketidakmampunnya dalam berbicara. Pernahkah kita
melihat seseorang dengan tekun menjadi pendengar dalam sebuah diskusi atau pembicaraan, itu
bukan dikarenakan dia memakai makna diam yang pertama, tapi karena dia tidak tahu
apa yang dibicarakan bisa juga dia mengalami “trauma psikologi” dimana dia pernah
mengalami pengalaman yang pahit, setiap
berbicara selalu disalahkan atau cendrung dianggap tidak berguna.
Mungkin itu terjadi ketika dia masih usia belia. Sepantasnya saat itu butuh
penghargaan atau pujian dari setiap
kebaikan yang dikatakannya. Butuh
pengarahan yang konstruktif dari setiap kesalahan yang dia ucapkan. Seorang
pendiam mungkin juga faktor keturunan, karena bapaknya atau ibunya seorang pendiam. Memang alasan keturunan
harus dikaji lebih intensif lagi. Tetapi jika ditinjau dari sudut pandang pendidikan, lingkungan termasuk dalam ranah
pembentukan karakter. Lingkungan utama dan pertama adalah keluarga. Jika orang tuanya cendrung pendiam maka sikap tersebut bisa
jadi contoh untuk anggota keluarganya, terkhusus anak. Baginya ibu dan bapaknya adalah panutan
pertama yang patut dia tiru.
Tipologi beragama yang baik, selalu
menjaga lidah dari hal-hal yang tidak berguna. Diam dan bicaranya selalu punya
makna. Namun tabiat pencela tidak akan pernah berhenti membicarakan orang lain. Pepatah
orang tua kita dahulu berbunyi “Orang bodoh
berbicara selalu mencela orang lain,
yang mulia mencela dirinya sendiri dan yang pandai tidak mencela diri
sendiri dan tidak pula mencela orang lain. Dari ketiga jenis diam di atas
mari timbang diri masing-masing dibagian manakah posisi kita berada. Atau malah sebaliknya kita lebih banyak berbicara daripada diam sehingga kita tidak
mampu lagi mendengar nasehat yang baik dari
orang lain. Wallahu a’lam.
Posting Komentar
0 komentar
Dear readers, after reading the Content please ask for advice and to provide constructive feedback Please Write Relevant Comment with Polite Language.Your comments inspired me to continue blogging. Your opinion much more valuable to me. Thank you.