0

Alam semesta adalah manifestasi keagungan Tuhan. Keindahannya merupakan simbol kemegahan Allah. Secara tidak langsung manusia yang merusak tatanan  hidup yang sudah horminis adalah kelompok  makhluk yang secara  konstan  merusak citra Allah di dunia. Mereka tidak merusak  zat Allah tapi  tidak menghormati Allah sebagai pemelihara bagi  seluruh eksistensi  makhluk yang lain. Fakta nyata yang  bisa didapat dengan mudah oleh setiap orang untuk melihat pesona  Allah  dengan “melihat” dan  mengkaji  ciptaannya. Seringkali kita mengaji dan mengkaji perkara tauhid, secara detail  dan rinci. Di antara materi yang dibahas adalah tauhid rububiyah, sekilas yang  dimaksud tauhid rububiyah tersebut adalah mengesakan Allah dalam tiga perkara yaitu penciptaan, kekuasaan, dan pengaturan-Nya. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin hal 14).
 Jangan berharap dan berangan-angan melihat wujud Allah di dunia ini, karena pasti tidak akan bisa dan mampu hal itu terwujud. Hal ini dikisahkan Allah dalam Al-Quran, artinya:   “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman" (Al-‘araf: 143). Manusia disarankan oleh Allah untuk melihatNya melalui ciptaannya.  Tadabbur alam setiap saat akan memberikan nuansa ketenangan batin dan kehalusan perasaan, Karena di sekitar kita  juga ada makhluk yang senantiasa juga berzikir kepadaNya dengan caranya sendiri. Kemudian orang yang mempunyai aqidah yang kuat  akan bergerak dari suatu pemikiran kemanfaatan dan kemaslahatan. Menjaga dan melestarikan kehidupan di sekeliling kita  sebagai perwujudan reaksi tauhid rububiyah.  Sangatlah disayangkan disaat yang bersamaan  sebagian dari kita  begitu asyiknya membahas Islam di majelis ta’lim namun aktualisasi nilai tersebut tercabut dari sendi kehidupan. Keimanan teoritis seperti ini banyak disindiri  Allah dalam KitabNya, berkata tapi tidak berbuat. Harmonisasi hidup dapat terlihat ketika antara  makhluk saling  berbagi dan menjaga fungsi dan peranan. Karena  makhluk yang  berpikir adalah manusia, dipundaknya   beban  pelestarian  lingkungan dunia di jaga dengan  jujur. Jadi menebang hutan sembarangan,  penggalian  tambang  secara brutal, membuang sampah sembarangan  dan banyak contoh yang lainnya menandakan orang tersebut kering dengan nilai rububiyah.  Allah tidak bersuara dalam batinnya karena nafsu hewannya lebih nyaring dibandingkan suara-suara yang lain.   Getaran ilahi sangat sayup kedengaran  bunyinya sementara seruan menghancurkan  begitu jelas dan kuat.
Pada demensi yang lain, bentuk keakraban diri dengan Robb adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya tempat berteduh dan berharap. Kelompok manusia seperti ini sangat dibutuhkan kehadirannya di tengah kita. Firman Allah, artinya   “Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah," (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).(At-taubah:59). Kekuasaan Allah meliputi luas langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya. Bermohon kepada Allah  di setiap event  kehidupan membuat diri manusia semakin mengakui akan kekuatan dan kehendak Allah. Prinsip manusia yang ber-Tuhan tidak akan membiarkan dirinya mencari rejeki   dan apapun yang diusahakan lepas dari ketergantungan kepada Allah. Namun kebanyakan manusia cendrung lebih siap berkomunikasi  dengan Allah dikala susah mendera dan nestapa batin yang mendalam daripada dalam situasi perasaan  yang bahagia, penghidupan  terasa cukup dan  masalah sedang menjauh. Kealpaan tersebut terjadi karena ada prasangka dengan apa yang dimiliki, seolah-olah mampu menghadirkan apa yang dinginkan. Inilah yang berlaku pada Nabi Sulaiman takala ia meminta izin kepada Allah agar diberikan  kesempatan memberikan makan pada makhluk  yang ada di sekitar kerajaan selama setahun. Tapi Allah tidak mengizinkannya, karena Sulaiman tidak akan sanggup melaksanakannya. Sampai akhirnya Nabi Sulaiman bermohon kembali walaupun sehari saja, maka Allah memgabulkan permohonan tersebut. Mulailah saat itu Nabi tersebut memerintahkan bala tentaranya untuk menyiapkan  makanan   tersebut dan  menghidangkannya. Yang dalam beberapa riwayat, lebar dan panjang hidangan tersebut sekitar  satu atau dua bulan perjalanan. Singkatnya Allah  memerintahkan kepada  satu ikan besar yang  menjadi “tamu”  Nabi Sulaiman yang pertama menyantap hidangan tersebut. Alangkah terkejut  Sulaiman, seluruh hidangan telah habis. Namun ikan tersebut masih merasa lapar.  Diakhir kisah Sulaiman  insyaf akan perbuatannya. Bahwa hanya Allah yang punya kuasa atas segala hal di dunia apalagi di akhirat. Kekayaan Sulaiman tidak   bisa mengeyangkan satu ikan saja. Lalu bagaimana dengan kita? Kalau sekalibernya saja tidak mampu,  apalagi milyarder sekarang, yang harta dan pangkatnya tidak sebanding dengan yang dimiliki  Nabi Allah tersebut. Dalam diri kita harus lahir sikap  merasa cukup, bahwa Allah sebagai pengatur dan berkuasa atas segala hal. Orientasi hidup tidak boleh berubah  hanya karena tekanan  sesaat. Karena dari situ jugalah dilihat sampai sejauh komitmen rububiyah umat Islam kepadaNya. Allah juga bersifat mengatur. Mengabaikan aturanNya akan mendatangkan malapetaka. Semakin  besar pelanggaran  yang dibuat  manusia semakin  besarkan dampak kerusakannya yang dialami. Firman Allah, artinya: “Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya”(Al-Furqon:2). Seseorang yang telah “duduk”  prinsip kehambaanya akan memahami hal ini bukan hanya sebagai konsep tapi juga aplikasi. Merevolusi aturan Tuhan akan menghancurkan kridebilitas   seseorang sebagai makhluk yang bertuhan.Wallhu a’lam .

Posting Komentar

Dear readers, after reading the Content please ask for advice and to provide constructive feedback Please Write Relevant Comment with Polite Language.Your comments inspired me to continue blogging. Your opinion much more valuable to me. Thank you.