Zailani

TRADISI SUFI DI SEKOLAH

<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Lembaga
pendidikan<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>adalah sarana utama
mencerdaskan kehidupan manusia. Dari sanalah dibentuk manusia dengan utuh. Yang
dikembangkan dari mereka bukan saja ilmu-ilmu <i>aqliyah</i> tapi juga <i>naqliyah</i>.
Ke dua sumber tersebut berasal dari akal dan<i> Alquran</i>. Akal <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>menjadi alasan utama<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>manusia masuk dalam golongan makhluk pilihan.
Karena eksistensi akal bukan hanya mampu<span style="mso-spacerun: yes;"> 
</span>mencari ilmu dari pengalaman dan lingkungan sekitarnya,<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>Juga kemampun daya pikir yang dapat
menghasilkan<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>terobosan<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>ilmu pengetahuan yang cukup dahsyat.<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>Akal<span style="mso-spacerun: yes;"> 
</span>dipandu dengan <i>Alquran</i> dalam menjawab tantangan zaman dan sesuatu
yang<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>tidak dapat diketahui oleh akal
secara jelas. Dengan arahan <i>Alquran</i> dan <i>As-sunnah</i>, kualitas
manusia semakin dirasakan kehadirannya. Di sebuah lembaga<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>pendidikan, seperti madrasah, sekolah dan
jenis yang lain.<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>Perpaduan dua jenis
ilmu pengetahuan yang bersumber dari dua demensi yang<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>berbeda<span style="mso-spacerun: yes;"> 
</span>merupakan sebuah entitas yang tidak bisa dipisahkan.<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>Sebab tanpa akal manusia tidak mempunyai daya
cipta. Tanpa <i>Alquran,</i><span style="mso-spacerun: yes;">  </span>insan
kehilangan identitas.<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>Dewasa ini muncul
gejala yang sangat memprihatinkan terhadap kondisi nasib bangsa.<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>Terutama generasi terdidik, terjadinya
disharmoni dan disintegrasi antara jiwa dan akal.<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>Munculnya generasi<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>kering spiritual, kehilangan jati diri dan
terjebak dalam ruang harapan materil, menistakan kebutuhan immateril. Terjadinya
amputasi defenisi pendidikan yang lebih<span style="mso-spacerun: yes;"> 
</span>mendewakan kebutuhan intelektual. Padahal<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>amanah Undang Undang Sisdiknas <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>pasal satu adalah Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan Negara. Kelumpuhan lembaga pendidikan menghadirkan perpaduan ukhrowi dan
duniawi kepada peserta didik dalam<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>makna
yang luas, tidak lepas dari proses pendidikan. Ada beberapa aspek munculnya
parasit ini, antara lain:<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>pertama,
adalah guru.<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>Seorang<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>guru<span style="mso-spacerun: yes;"> 
</span>dalam pandangan Islam adalah <i>role model</i> (Teladan) bagi orang
lain, terkhusus<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>siswa. Ketika terjadi disfungsi
dan dikotomisasi, perannya hanya sebagai pengajar. Bebas bersikap, berprilaku
tanpa menghadirkan jiwa pendidik sehingga hilangnya nilai-nilai luhur<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>dari kepribadiannya. Ini menyebabkan siswa
akan<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>fana (kehilangan diri) menyatu dengan
sesaknya kebutuhan dunia.<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>Seorang guru
yang mencintai ilmu<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>tanpa menyelam lebih
dalam lagi, dalam ruang lingkup kehambaan akan membentuk jati diri seorang <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>gagah dengan<span style="mso-spacerun: yes;"> 
</span>akalnya tapi lumpuh dalam spiritualnya. Hal ini akan membawa dampak bagi
murid-muridnya. <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Bias sikap dan karekternya
akan memberikan pengaruh negatip yang sangat singinifikan bagi siswa. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><span style="mso-tab-count: 1;">            </span>Salah satu terapi yang bisa digunakan dalam
menyikapi<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>problematika ini adalah
menjadi seorang guru<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>berjiwa sufi. Bukan
dimaksudkan<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>semua siswa dan guru
membentuk<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>kelompok tarekat di dalam
sekolah, tapi<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>bagaimana menghadirkan
Allah di tengah siswa. Hal ini dapat dilakukan dengan hal-hal yang sederhana.
Setiap aturan yang dipatuhi siswa di sekolah<span style="mso-spacerun: yes;"> 
</span>bukan takut karena sanksi<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>dari
sekolah, tapi lebih kepada aspek ruhani. Dalam hal ini Allah ditakuti dan dicintai.
Pada level pemula, semua unsur pelaksanaan pendidikan di sebuah lembaga
pendidikan, merasa setiap dia<span style="mso-spacerun: yes;"> 
</span>melakukan<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>kesalahan walaupun
tidak diketahui oleh pimpinan, guru dan pemegang kendali, sesungguhnya dia
sudah mendapat<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>pengawasan dariNya. Pada
level ini pengawasan itu tidak lagi berada dalam demensi <i>alam al-syahadah </i>(
Alam yang tampak), tapi<span style="mso-spacerun: yes;">   </span>melewati batas alam
materi. Bagi siswa, dia tidak lagi takut pada hukuman dari sekolah, tapi
hukuman dari Allah. Murid<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>memahami Allah
sebagai hakim yang tidak pernah salah dan lelah dalam mengawasinya. Pada level
selanjutnya apabila<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>murid<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>mengalami<span style="mso-spacerun: yes;"> 
</span>peningkatan spiritual yang lebih tinggi, dia akan mengenal sebagai
khalik yang sangat dicintai. Baginya<span style="mso-spacerun: yes;"> 
</span>segala hal yang dilakukan sebagai manifestasi dan rasa cintanya kepada <i>Robb</i>.
Pada saat ini antara akal dan jiwa terjalin komunikasi lintas demensi. Inteletualnya
bukan saja melahirkan<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>terobosan<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>dalam<span style="mso-spacerun: yes;"> 
</span>ilmu pengetahuan dan teknologi tapi juga melahirkan pribadi yang unggul
dan berkarakter. Harapan-harapan di atas, tidak masuk dalam ruang pemahaman dan
pikiran saja tapi dia keluarnya dalam pengalaman dan pengamalan hidup sehari-hari.
Secara operasional apa yang dapat dilakukan lembaga pendidikan dan khususnya
guru untuk melahirkan generasi perpaduan dua alam, yakni alam dunia dan
akhirat? Secara tehnikal, Bagi guru dan siswa di lembaga pendidikan untuk
membiasakan setiap pagi melaksanakan sholat dhuha. Fungsi ibadah ini bukan
hanya mampu menghadirkan rasa ketergantungan antara manusia dan Tuhan, tapi
juga rasa kehadiran Allah dengan setiap aktivitas. Ibadah ini juga menjadi
sarana melahirkan hubungan dan komunikasi siswa dan guru yang lebih berkualitas,
dipertemukan dalam suasana pengabdian. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Membiasakan
diri berdoa sebelum dan sesudah<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>mencari
ilmu. Hal ini bertujuan<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>supaya<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>tumbuh kesadaran yang hakiki segala ilmu
datangnya dari Allah. Sehingga doa bagian permohonan<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>dan permintaan manusia untuk dapat diridhoi.
Dalam suasana belajar, segala ilmu pengetahuan muaranya adalah <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Allah, tanpa terkecuali baik ilmu alam, sosial
dan lain-lainnya. Dengan demikian tidak terjadi dikotomisasi dalam keilmuan. Dalam
konteks interaksi antara siswa dan guru, hubungan yang terjalin tidak hanya <i>transfer
of knowledge</i>, tapi juga <i>transfer of value</i>. Di sinilah peran utama
pendidik menjadi <i>role model</i> bagi siswa. Untuk <i>Tawajjuh</i> (
menghadirkan wajah guru) maka haruslah timbul rasa suka dan<span style="mso-spacerun: yes;">  </span>menyukai antara siswa dan guru. Satu rasa
cinta kepada guru jauh lebih bermanfaat dalam proses pembelajaran dibandingkan
seribu metode pembelajaran yang disertai kebencian. <i>Wallahu a’lam.</i><span style="mso-spacerun: yes;">     </span></span></div>

TRADISI SUFI DI SEKOLAH

Zailani 0 03.56.00

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE

EGOISME BERAGAMA

Zailani 0 06.02.00

<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgLP_z9T_i8aKkhQv8EysEB6KqqZbhj-Mr54v3GIjXF5OHYgFQqta_Z3z1drcz8ALRxEiAXEW1rx3E1C_1slwpPCf2pv7pC9XAs1fYh4x_ozBmACz4hADE562ZvENXVS_hi4mtKh66RgoQ/s1600/20160919_130635.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1600" data-original-width="899" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgLP_z9T_i8aKkhQv8EysEB6KqqZbhj-Mr54v3GIjXF5OHYgFQqta_Z3z1drcz8ALRxEiAXEW1rx3E1C_1slwpPCf2pv7pC9XAs1fYh4x_ozBmACz4hADE562ZvENXVS_hi4mtKh66RgoQ/s200/20160919_130635.jpg" width="111" /></a><br />
<div align="center" style="line-height: normal; margin: 16px 0px; text-align: center;">
<b><u><br /></u></b></div>
<br />
<div align="center" style="line-height: 150%; margin: 0px 0px 13px; text-align: center;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%; margin: 0px;"><br /></span></b></div>
<br />
<div style="line-height: 150%; margin: 0px 0px 13px; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%; margin: 0px;">Manusia adalah mahkluk yang unik. Kemampuan untuk beradaptasi <span style="margin: 0px;"> </span>dengan lingkungan sekitar sangat cepat, termasuk
merespon sesuatu yang datang dari luar.<span style="margin: 0px;"> 
</span>Kesanggupan menyesuaikan diri dalam berbagai keadaan<span style="margin: 0px;">  </span>menjadikan manusia penuh dengan<span style="margin: 0px;">  </span>kreativitas. Elastisitas<span style="margin: 0px;">  </span>kehidupan manusia<span style="margin: 0px;">  </span>juga tercermin dalam<span style="margin: 0px;">  </span>hubungan insan dengan Allah, salah satu
bentuk hubungan yang dijalin Allah kepada manusia adalah antara hamba dan Khalik.
Sebagai<span style="margin: 0px;">  </span>Pencipta, <i>Dia</i> memberikan perintah
dan syariat<span style="margin: 0px;">  </span>tidak semuanya sama. Semenjak
dari nabi Adam sampai Muhammad. Sebagaimana yang disampaikan Qomarudin, dalam
bukunya “Psikologi Beragama”. Namun ada satu yang tidak berubah dalam semua
misi yang<span style="margin: 0px;">  </span>dibawa oleh para<span style="margin: 0px;">  </span>Rasul<span style="margin: 0px;">  </span>yakni
tauhid. Ajaran keimanan yang dibawa oleh mereka seiring berjalannya waktu tetap
tidak berubah, sifatnya statis. Namun aplikasi keimanan tersebut yang<span style="margin: 0px;">   </span>mengalami perubahan. Yang menarik dari
semuan perintah Allah, setiap manusia<span style="margin: 0px;"> 
</span>menjalankan titah diberikan satu kata kunci yaitu “berdasarkan
kesanggupan”. Secara psikologi, Al-qur’an mengakomodir<span style="margin: 0px;">  </span>karakter dan ketahanan manusia dalam menjalan
misi kepatuhan. Contoh yang sederhana, haji bagian dari salah satu rukun<span style="margin: 0px;">  </span>Islam. Dalam konteks <span style="margin: 0px;"> </span>kesanggupan tidak semua umat Islam mampu
melakukan, karena berhubungan dengan kesiapan lahir-batin, fisik dan psikis.
Begitu juga dengan pelaksanaan sholat, berdiri tegak adalah opsi pertama
untuk<span style="margin: 0px;">  </span>menghadapNya. Namun duduk,
berbaring dan isyarat juga bagain opsi lain yang diberikan kepada kaum beriman.
Dari beberapa contoh di atas, betapa Allah sangat toleran dengan perintahNya. Setiap
satu jalan tidak mampu dilalui sebagian hambaNya, Dia menyiapkan opsi atau
pintu lain untuk menemui. Begitu banyak saluran menuju Allah, hal ini juga ditandai
dengan jumlah pintu surga, ternyata surga tidak hanya dilalui satu amalan dan
karakter tunggal. Tuhan memberikan opsi lebih dari satu untuk<span style="margin: 0px;">  </span>menemuiNya</span></div>
<br />
<div style="line-height: 150%; margin: 0px 0px 13px; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%; margin: 0px;">Kehidupan manusia sangat damai, bila memberikan ruang untuk
menerima perbedaan tanpa harus meninggalkan prinsip. Sikap merasa benar dengan
amalan dengan<span style="margin: 0px;">  </span>menjatuhkan sikap
beribadah kelompok lain bagian dari sikap kesombongan paham agama. Dari narasi
di atas, umumnya sikap egoisme keberagamaan lahir dikarenakan: <i>Pertama</i>,
Rendahnya<span style="margin: 0px;">  </span>nilai Ilmu. Semakin<span style="margin: 0px;">  </span>dalam ilmu seseorang, semakin<span style="margin: 0px;">  </span>bijak dalam melihat dan menyelesaikan
masalah. KH. Hasyim Asy’ari <span style="margin: 0px;">        </span>(Pendiri NU) dan KH. Ahmad Dahlan (Pendiri
Muhammadiyah), mereka hidup sezaman bahkan pernah satu asrama. Hasyim Asy’ari
lebih cendrung ke kajian hadis sedangkan K.H Ahmad Dahlan lebih kepada
pemikiran dan pergerakan, Pada Satu titik tertentu, dari buah pengabdian mereka
kepada agama, Ahmad Dahlan melahirkan Muhammadiyah, Hasyim Asy’ari meahirkan
NU.<span style="margin: 0px;">  </span>Walau dalam konsep pemahaman agama
mereka berbeda<span style="margin: 0px;">  </span>hukum fiqh, tapi dalam
konteksnya mereka tetap saling menghormati antara satu dengan yang lain. </span></div>
<br />
<div style="line-height: 150%; margin: 0px 0px 13px; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%; margin: 0px;">Umumnya terjadinya gejolak dan benturan pemikiran yang berujung
anarkis ada pada level akar rumput, sedangkan dilevel tinggi mereka bisa saling
menghormati. Kalau diurut ke belakang, kelompok para imam mazhab,<span style="margin: 0px;">  </span>Imam syafii dan hambali hidup sezaman, Tidak
jarang berbeda dalam mengambil istimbat hukum, tapi penulis belum ada menjumpai
sebuah sumber referensi<span style="margin: 0px;">  </span>antara<span style="margin: 0px;">  </span>kedua imam ini saling menyerang dan mengucilkan
pandangan<span style="margin: 0px;">  </span>diantara mereka apalagi<span style="margin: 0px;">  </span>memberikan label-label negative. Ini
menandakan<span style="margin: 0px;">  </span>keluasan ilmu mereka sehingga
arif dalam melihat suatu perbedaan, dan saling menghormati. Prilaku inilah yang
layak dijaga dan dipelihara<span style="margin: 0px;">  </span>oleh para
ahli ilmu. Tidak menggunakan ego ilmu dalam<span style="margin: 0px;"> 
</span>menimbang<span style="margin: 0px;">  </span>orang lain,
kemudian<span style="margin: 0px;">  </span>menjustifikasi sebuah kebenaran
berdasarkan opini sendiri. praktek semacam ini menjadi penghalang penyatuan
umat. Disadari bersama bahwa umat yang satu bukan dalam pengertian
berorganisasi satu,<span style="margin: 0px;">  </span>berpaham tunggal,
tapi kesatuan umat dilihat dari berbagai macam warna kulit, paham, organisasi
dan kultur namun spirit keagamaannya<span style="margin: 0px;"> 
</span>tetap menjadi bagian integral yang tidak terpisahkan dalam kehidupan
orang lain. Berbeda dalam fiqh, tapi<span style="margin: 0px;"> 
</span>tetap menyatu dalam muamalah, tujuan politik, ekonomi dan lainnya. Ilmu
mempunyai peran yang sangat startegis dalam membingkai sikap seseorang lebih
bijak melihat orang lain berbeda dengan dirinya. Dalam istiliah komunikasi,
seseorang dapat dipahami dan dimaklumi apa yang dibicarakan dengan menggunakan
konsep berpikir dari lawan bicara, sehingga ada sikap lapang dada dan “nrimo”.</span></div>
<br />
<div style="line-height: 150%; margin: 0px 0px 13px; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%; margin: 0px;">Sedangkan yang kedua, keluasan pergaulan,<span style="margin: 0px;">  </span>Ada satu pandangan” seseorang yang hidup
berorganisasi atau luas pergaulan akan lebih mudah menerima pandangan berbeda
dibandingkan orang lain, Sebab<span style="margin: 0px;">  </span>dalam dua
hal di atas,<span style="margin: 0px;">  </span>dia selalu dihadapkan<span style="margin: 0px;">  </span>dengan pandagan dan pendapat orang lain, yang
pendapat tersebut belum disetujui. Disitulah diajarkan hidup dengan mengikuti
pandangan orang lain, atau sejalan dengan idenya. Begitu juga dalam kehidupan
beragama,<span style="margin: 0px;">  </span>sikap terbuka dan lapang dada
dengan<span style="margin: 0px;">  </span>kondisi sekitar menjadikan
seseorang lebih bijak dalam bersikap dan berempati dengan sesama<span style="color: black; margin: 0px;">. Perintah Allah, <em><span style="background: white; border-image: none; border: 1pt windowtext; margin: 0px; padding: 0in;">Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”</span></em><span style="background: white; margin: 0px;">. (Qs. al-Hujurat: 13)</span>.</span><span style="margin: 0px;">  </span>Mengenal dalam arti yang positif dimaknai
dengan menghargai satu dengan yang lain, tidak bersifat kolonialisasi sebagaimana
yang terjadi di era penjajahan. Proses perkenalan bukan hanya terletak
pada<span style="margin: 0px;">  </span>bentuk fisik tapi pemikiran dan
ideologi,<span style="margin: 0px;">  </span>Pada level inilah sering
terjadi benturan.<span style="margin: 0px;">  </span>Namun fakta
dilapangan, seseorang yang<span style="margin: 0px;">  </span>pergaulan
luas, tempat tinggalnya lebih heterogen, akan lebih mudah<span style="margin: 0px;">  </span>mendialogkan perbedaan dibandingkan
sebaliknya. Bukan dalam pengertian harus menyatukan atau memaksakan satu pendapat
kepada yang lain, tapi lahirnya sikap toleran dalam makna sebenarnya. Sama
halnya dengan pasangan suami istri. Lahir dari keluarga dan pengajaran yang
berbeda, tentu ketika serumah banyak dijumpai rasa perbedaan, tapi karena
berangkat dan dimulai dengan cinta, ada yang bisa dikompromikan.<span style="margin: 0px;">  </span>Terkadang sang suami yang mengikuti pandangan
<span style="margin: 0px;"> </span>dan sepakat pandangan si istri begitu
juga sebaliknya. </span></div>
<br />
<div style="line-height: 150%; margin: 0px 0px 13px; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%; margin: 0px;">Sikap beragama seperti ini menjadi sebuah cita-cita. Sebab egoisme
beragama adalah penyakit. Melihat<span style="margin: 0px;"> 
</span>seluruh aspek<span style="margin: 0px;">  </span>keagamaan
berdasarkan egonya sendiri, tanpa memberikan kesempatan ego orang lain untuk
berbicara dan didengarkan dan ini layak untuk dhindari. <i>Wallahu a’lam.</i></span></div>
<br />
<div style="line-height: 150%; margin: 0px 0px 13px; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgLP_z9T_i8aKkhQv8EysEB6KqqZbhj-Mr54v3GIjXF5OHYgFQqta_Z3z1drcz8ALRxEiAXEW1rx3E1C_1slwpPCf2pv7pC9XAs1fYh4x_ozBmACz4hADE562ZvENXVS_hi4mtKh66RgoQ/s1600/20160919_130635.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"></a></div>
<br />

EGOISME BERAGAMA

Zailani 0 06.02.00

Manusia adalah mahkluk yang unik. Kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar sangat cepat, termasuk merespon sesuatu yang datang dari luar. Kesanggupan menyesuaikan diri dalam berbagai keadaan menjadikan manusia penuh dengan kreativitas. Elastisitas kehidupan manusia juga tercermin…

BERPIKIR DALAM ISLAM

Zailani 0 pendidikan 18.19.00

<div class="MsoNormalCxSpFirst" style="line-height: 150%; text-align: left;">
<b style="text-align: justify; text-indent: -18pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">A.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-variant-numeric: normal; font-weight: normal; line-height: normal;">    </span></span></b><b style="text-align: justify; text-indent: -18pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">PENDAHULUAN</span></b></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Islam secara historis adalah agama dibawa oleh semua
Nabi. Dari Adam sampai Muhammad semua mempunyai misi yang sama,  mentauhidkan Allah. Hanya pada level syariat
tidak semua sama. Agama Ini di sempurnakan pada masa Rasul Saw.  Islam yang disempurnakan bukan hanya membawa
umat kepada kelompok umat pilihan. Tetapi 
memberikan kesempatan pada 
manusia untuk mengoptimalkan  daya
yang telah diberikannya.  Kemampuan yang
diberikan pada setiap makhluk tidaklah sama, khususnya pada manusia. Mereka memiliki
segala kemampuan untuk  memudahkan
kehidupan di dunia. Salah satu yang sangat urgen dalam  pembentukan manusia adalah panca indra
dan  akal dalam  merangkai 
dunia.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">            Dalam proses berpikir, potensi yang
telah disiapkan untuk  menjadikan manusia
sebagai hewan yang berpikir (<i>hayawatun natiq) </i>adalah<i> </i>akal.
Lalu  bagaimana Al-Quran yang memandang
manusia dengan kemampuan berpikirnya. Sampai sejauh mana  manusia diberikan kebebasan dalam memikirkan
sesuatu. Ini menjadi hal sangat penting 
untuk ditelusuri dalam Al-Quran. Walaupun akal menjadi potensi utama
yang dimiliki  manusia, tapi sesempurna
ciptaan Allah, tentu Allah memberikan batasan 
makhluknya untuk melakukan sesuatu. Dalam konteks berpikir Al-Quran menjunjung
tinggi harkat martabat  manusia melalui
kelebihannya dengan yang lain. Tetapi dalam demensi yang lain, ada garis
pembatas Al-Quran menghendaki manusia untuk menerima dengan konsep iman. Dalam
landasan teologis, antara perintah berpikir dan juga percaya (baca: iman) dua
hal yang sering dijumpai. Dengan demikian antara berpikir kritis dan dan
mengimani diletakkan pada porsinya.  <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 22.5pt; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: -18.0pt;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">B.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-variant-numeric: normal; font-weight: normal; line-height: normal;">     </span></span></b><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">AL
QUR’AN DAN KONSEP BERPIKIR<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Al-Quran terkadang memposisikan manusia  untuk 
sebagai makhluk yang berdaya (dalam konsep aliran kalam disebut <i>Mu’tazilah</i>
atau <i>qodoriah</i>) dimana  menjadi
akal seperti “dewa penyelamat” dalam mengatasi segala macam masalah. Akal  berikut panca indra menjadi tertuduh manakala
timbulnya masalah pada lingkungannya. Dalam arti yang lain. Allah tidak
dimasukkan sebagai pihak yang ikut bertanggung jawab dalam setiap persoalan
yang muncul. Hal-hal di atas sangat berbahaya dalam konteks  tauhid. Maka upaya berpikir sistemik  dalam ranah 
Filsafat tentu  menjadi salah satu
hal tidak terbantahkan membantu  berbagai
macam problematika  sehari- hari. Namun
nilai sufistik dalam Al-Quran tetap menjadi wahana dan salah satu landasan dalam  menyikapi setiap kejadian.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">             Al-Quran dalam konteks historis pertama kali
diturunkan di Gua Hira’ dan ayat yang pertama 
kali turun adalah surah <i>al’Ala</i>. Konsentrasi ayat 1-5 yang pertama
kali diturunkan tesebut  bagaimana upaya Al-Quran  mengajak 
manusia untuk mengenal Allah melalui perintah <i>iqra</i>. Membaca di sini
buka saja bersifat himbauan tetapi lebih dikuatkan dalam bentuk perintah. Dalam
demensi <i>ushul fiqh</i> bahasa perintah wajib untuk dikerjakan. Dalam Kitab
Suci manapun di dunia ini, hanya Al-Quran yang memulai mengenal Allah melalui
proses membaca. Yang di dalam terkandung makna berpikir. Kalau agama dan
kepercayaan yang lain dimulai dari  hal
yang bersifat doktrinal. Beda halnya dengan Al-Al-Quran “menantang” manusia
menguji keabsahan dan kebenaran Tuhan yang diuraikan dalam firman-firman Allah.
Banyak sekali dijumpai ayat-ayat mewakili kebutuhan akal manusia untuk di
gunakan sebaik mungkin. Besarnya porsi dan kesempatan manusia untuk berpikir,
menandakan adanya upaya pengkajian dan telaah bahwa segala sesuatu yang dipikirkan
dimulai dari sikap kritis. Sikap kritis di sini bukan  membawa sebuah konsep filsafat umum, dimulai
dengan rasa keraguan. Tetapi bagaimana 
sebuah informasi, ajaran dan lain-lainya dapat ruang untuk didiskusikan
dalam ranah keilmuan. Sebagai sebuah pedoman suci, agama  menjadi landasan sakral yang tidak boleh
dtinggalkan. Sesuatu yang tidak perlu ditafsirkan lagi dan  bersifat <i>qoth’i</i>.  Hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa Islam telah
menjamin kebebasan berpikir.<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[1]</span></span></span></a>
Hal itu terlihat jelas, bahwa Islam mendorong umatnya untuk menjelajahi
penciptaan alam semesta.<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[2]</span></span></span></a>
Islam memberikan toleransi kebebasan berpendapat dalam segala ruang lingkup
perkara dunia. Baik dalam urusan umum maupun kelompok. Hal ini tampak jelas
terlihat dalam kisah Saad  bin Muaz dan Saad
bin Ubadah ketika Rasulullah mengajak keduannya untuk bermusyawarah dalam
perjanjian dengan Bani Ghatafan untuk memberikan upeti sepertiga hasil
dari  kurma Madinah hingga mereka
bersedia untuk keluar dari perjanjian pada saat perang Ahzab. Abu Hurairah
Radhiyallahu<i> anhu </i> berkata,
datanglah  Harits Al Ghatafan kepada Nabi
saw seraya berkata;” Hai Nabi Muhammad, bagikan 
kepada kami  kurma dari Madinah.”Dikatakan
juga.:” sampai memenuhi sekian- sekian.” Lantas Beliau mengutus Saad bin Muaz,
saad Bin Ubadah, Saad Bin Rabi, Saad Bin Khaitsamah, Saad Bin Mas’ud<i> </i>dan<i>
</i>berkata,                 “Sesungguhnya
aku telah mengetahui bahwa orang-orang Arab telah melempar kalian  dengan satu 
panah (bersatu padu) dan Harist telah memberikan  pada kalian pilihan uuntuk membagikan  kepadanya kurma Madinah. Jika kalian  bersepakat untuk membayar kepadanya
selama  satu tahun ini sampai kalian
melihat urusan sesudahnya. Mereka menjawab’ “Ya Rasul Saw jika ini wahyu dari
langit  kami  tunduk pada perintah Allah. Jika Ini kehendak
anda, maka kami harus mematuhinya. Namun Jika Anda ingin mengetahui pendapat
kami, maka demi Allah,  kami melihat kita
dengan mereka sama. Tidaklah kami 
memberikan kurma kepada  mereka
kecuali membeli atau kesepakatan (jual beli)”.<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftn3" name="_ftnref3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[3]</span></span></span></a>
Kisah di atas menandakan Al-Quran  dan
hadis tidak memonopoli  semua ruang
kehidupan. Memang ada-ada hal yang sifatnya jelas tanpa ada proses ijtihad tapi  masih banyak 
celah dimana akal diberikan kesempatan untuk bertugas. Sekalipun itu
dalam ranah hukum agama (<i>fiqh</i>) apalagi yang masih sangat  bersifat <i>furu’iyah</i>.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Ada
beberapa  kata-kata yang menunjuk
aktivitas berpikir dalam Al-Quran, anatara lain:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">1.<i>Al-Tadhakkur</i><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">            <i>Tadhakkur </i>merupakan bentuk
derivasi dari kata dasar <i>dhakara</i> yang berarti mengingat.<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftn4" name="_ftnref4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[4]</span></span></span></a>
Makna mengingat di sini adalah  suatu
proses  menyimpan sesuatu yang sebelumnya
sudah diketahui. Sehingga timbul kesadaran. Sedangkan <i>dhikr </i>berarti
segala yang terucap oleh lisan. Adapun Ar-Raghib al-Asfahany membagi makna
dhikr menjadi dua yaitu <i>Dhikr bi Al-Qalb</i> (berpikir dengan hati) dan <i>Dhikr
bi Al-Lisan</i> (mengingat dengan lisan)<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftn5" name="_ftnref5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[5]</span></span></span></a>.
Lebih lanjut ia menekankan bahwa masing-masing mengandung makna sebagai proses
mengingat kembali tentang apa yang telah terlupa dan mengingat untuk memahami
hal yang baru atau ilmu yang baru bagi orang yang berpikir.<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftn6" name="_ftnref6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[6]</span></span></span></a>
Dalam Konteks  peribadatan  mengingat Allah salah satu bagian  menjaga hubungan dengan Allah, Sehingga Allah
memberkati.<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftn7" name="_ftnref7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[7]</span></span></span></a><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Selain itu, <i>Tadhakkur</i> juga memiliki makna
leksikal (makna dasar) di antaranya ialah darasa (mempelajari) yang memiliki
turunan tadarasa yang berarti mempelajari kembali atau mempelajari secara
berulang-ulang untuk mengingatnya. Lawan kata dari <i>dhikr</i> adalah <i>nisyan</i>
(lupa).<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftn8" name="_ftnref8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[8]</span></span></span></a>
Artinya, <i>Tadhakkur</i> berfungsi untuk menjaga ilmu (<i>‘ilm</i>) yang ada
supaya terhindar dari penyakit lupa. Berarti lupa merupakan akibat dari tidak
diulangnya atau tidak dipelajarinya kembali ilmu-ilmu yang pernah diketahui
sebelumnya. Sebagaimana Abi Zayd yang berkesimpulan, <i>al-dhikr</i> berarti <i>al-sharaf</i>
(kemuliaan). Begitu besarnya perhatian Al-Quran terhadap akal dan potensi yang
digunakan untuk berpikir sehingga sangat mudah dijumpai ayat-ayat bersifat <i>Tadhakkur</i>.
antaranya yaitu: Konsep Allah dan nama-nama-Nya Q. S. <i>Al-Ahzab</i> : 21,
Al-Isra’ : 46, <i>Al-A’la</i> : 15, <i>Az-Zumar</i> : 45, <i>Muhammad</i> : 20,
<i>Al-Baqarah</i> : 152, 198, 203, <i>Ali Imran </i>: 191, <i>An-Nisa</i>’ :
142, <i>As-Shaffat </i>: 13, <i>Al-Mudathir</i> : 56, <i>Al-An’am</i> : 138, <i>Al-Baqarah</i>
: 114, <i>Al-An’am</i> : 121,<i> Al-Hajj</i> : 36, 40, <i>An-Nur </i>: 36,<i>
Al-Maidah</i> : 4, 110, <i>Al-A’raf </i>: 205,<i> Al-Kahfi</i> : 24, <i>Al-Muzammil
</i>: 8, <i>Al-Insan</i> : 25], konsep al-Qur’an [Q. S. <i>Al-A’raf</i> : 63,
69, Yusuf : 104, Al-Anbiya’ : 2, 50, <i>As-Shu’ara’</i> : 5, <i>Yasin</i> : 69,
<i>Shad</i> : 49, 87, <i>Az-Zuhruf</i> : 44, <i>Al-Qalam </i>: 52, <i>Al-Kauthar</i>
: 27], konsep ayat ayat Allah [Q.S. <i>Al-Ahzab</i> : 49, <i>Yunus</i> : 71].,
konsep nikmat [Q. S. <i>Az-Zuhruf</i> : 13, <i>Al-Baqarah</i> : 40, 47, 122,
231, <i>Ali Imran</i> : 103, <i>Al-Maidah</i> : 7, 11, 20, Al-A’raf : 69, 74,
86, <i>Al-Anfal</i> : 26, <i>Ibrahim </i>: 6, <i>Al-Ahzab</i> : 9, <i>Fathir</i>
: 3]., <i>konsep manusia</i> [Q. S. Maryam : 67], dan lain sebagainya.<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftn9" name="_ftnref9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[9]</span></span></span></a>  <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">            <i>Tadhakkur</i> merupakan satu <i>term</i>
dalam Al-Quran yang  dapat dimaknai
proses berpikir. Keterangan di atas juga menjelaskan  kepada 
orientalis bahwa  Islam adalah
agama satu-satunya yang ajarannya dapat didebatkan di“meja Ilmu
pengetahuan”  Al-Quran buka saja mengetuk
pikiran sesorang tapi juga  menyuruh
manusia untuk bisa merasa segala sendi kehidupan yang dijalaninya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">2.
Tafakkur<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">            Kata- kata lain yang menunjukkan
perintah berpikir dalam Al-Quran adalah <i>Tafakkur</i>. Kata ini tidak
asing  bagi telinga umat Islam, karena
memang  lafaz ini bagian yang sering
disebutkan Allah dalam Al-Quran. <i>Tafakkur</i> berasal dari kata <i>fakara</i>
yang berarti kekuatan atau daya yang mengantarkan kepada ilmu.<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftn10" name="_ftnref10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[10]</span></span></span></a>
Dengan kata lain bahwa <i>tafakkur </i>adalah proses menggunakan daya akal (<i>‘aql</i>)
untuk menemukan ilmu pengetahuan. Istilah <i>fikr</i> memiliki beberapa makna
yang berdekatan. Di antaranya ialah <i>al-tafakkur,</i> al-<i>Tadhakkur</i>, <i>al-tadabbur</i>,
<i>nadzar</i>,<i> ta’ammul, i’tibar</i>, dan <i>istibshar</i>. Ibn al-Qayyim
mengatakan bahwa <i>tafakkur </i>adalah proses memahami kebenaran suatu
perintah antara yang baik (al-khair) dan yang buruk (al-sharr) untuk mengambil
manfaat dari yang baik-baik serta bahaya dari suatu keburukan. Adapun objek
kajian berpikir (<i>tafakkur</i>) ialah ilmu. Sebab, berpikir berarti upaya
untuk mencari ilmu pengetahuan, maka konsep berpikir juga memiliki makna
relasional dengan konsep ilmu (<i>‘ilm</i>) dalam al-Qur’an. Untuk itu, orang
yang selalu berpikir tentang suatu ilmu disebut <i>‘arif</i> atau <i>‘alim</i>.
Kata <i>‘arif</i> dan <i>alim</i> memiliki lawan kata jahil (orang yang tidak
tahu). Maksudnya, orang yang tidak berilmu tidak dapat dijadikan sandaran
menuju kebenaran karena ia tidak tahu hakekat ilmu.<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftn11" name="_ftnref11" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[11]</span></span></span></a><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">3. Al-Tadabbur <o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Tadabbur</span></i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">
merupakan istilah yang datang dari bahasa Arab. Istilah <i>tadabbur</i>
merupakan bentuk derivasi dari kata dasar <i>dabara</i> yang artinya melihat
apa yang terjadi di balik suatu masalah. Selain itu, kata tersebut juga
memiliki makna leksikal “menyuruh (<i>al-amr</i>), memerintah (<i>walla</i>)”.
Dari kata dasar <i>dabara</i> juga menurunkan istilah lain yaitu <i>altadbir</i>
yang berarti memikirkan (<i>al-tafkir</i>) apa yang ada di balik sesuatu.
Selain itu didapatkan juga istilah <i>al-tadbir</i> yang artinya membebaskan
budak dari keterbelakangan atau terbebasnya seorang budak dari perbudakan setelah
kematian tuannya.<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftn12" name="_ftnref12" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[12]</span></span></span></a>
Hal tersebut senada dengan perkataan Ibnu Katsir bahwa <i>tadabbur </i>berarti
memahami suatu makna dari lafaz-lafaz yang ada, serta memikirkan makna dari tanda-tanda
(ayat) yang ada dalam Al-Qur’an dan mengambil manfaat dari makna tersebut
melalui hati (<i>qalb</i>) serta menjadikannya pengalaman atau ilmu baru dengan
penuh keyakinan. Ahmad Ibnu Faris mengatakan bahwa <i>tadabbur</i> juga
memiliki arti kemuliaan (<i>al-karam</i>)<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftn13" name="_ftnref13" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[13]</span></span></span></a>
Jadi, dalam konteks semantik leksikal <i>tadabbur</i> dan hubungannya dengan Al-Qur’an
tidak berarti membaca dan menghafal ayat-ayatnya saja. Lebih dari itu,
sebagaimana yang disampaikan oleh Abu Bakar al-Ajiry bahwa <i>tadabbur </i>ialah
mengamalkan dalam kehidupan mengenai apa yang dihasilkan dari proses memikirkan
ayat-ayat Allah Swt.<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftn14" name="_ftnref14" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[14]</span></span></span></a>
Dalam Al-Qur’an kata <i>tadabbur</i> dalam hubungannya dengan proses berpikir
terdapat sebanyak 4 kali, masing-masing dalam 4 surat dan 4 ayat [Q. S. <i>An-Nisa’</i>
: 82, <i>Muhammad</i> : 24, <i>al-Mu’minun</i> : 68, dan <i>Shad</i> : 29]. Dan
jika ditelaah tentang obyek yang menjadi sasaran <i>tadabbur</i> ini, maka
objek kajian dalam beberapa ayat tersebut mencakup tentang wahyu Allah (Al-Qur’an)
dan tanda-tanda kebesaran Allah  yang
lainnya. Adapun <i>term</i> yang digunakan dalam ayat tersebut ialah <i>afala
yatadabbarun</i> dan <i>afala yaddabbaru al-qaula</i>. Artinya, kedua bentuk
berpikir tersebut menunjukkan akan perintah berpikir mengenai makna yang
terkandung (baik tersurat atau pun tersirat) dalam ayat Al-Qur’an.<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftn15" name="_ftnref15" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[15]</span></span></span></a><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">4.
Al. Ta’aqqalu<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kata
<i>ta’aqqul</i> ditinjau dari segi kebahasaan memiliki beberapa makna. Secara
leksikal kata <i>ta’aqqul</i> berasal dari kata dasar ‘aqala yang memiliki
makna berpikir. Kata ‘aqala dalam bentuk kata kerja (fi’l) berarti <i>habasa </i>yang
berarti mengikat atau menawan. Orang yang menggunakan akalnya disebut dengan
‘aqil atau orang yang dapat mengikat dan menahan hawa nafsunya. Dalam <i>Mu’jam
Al-Maqayis fi Al-Lughah</i> mengatakan bahwa semua kata yang memiliki akar kata
yang terdiri dari huruf ‘<i>ain, qaf, lam</i> menunjuk kepada arti kemampuan
mengendalikan sesuatu, baik berupa perkataan, pikiran, maupun perbuatan. Adapun
konsep <i>ta’aqqul</i> membentuk derivasi seperti;‘<i>aqala-ya’qilu </i>sebagai
kata kerja, <i>‘aql </i>sebagai daya berpikir, <i>‘aqil </i>menunjuk kepada
orang yang berpikir. Sedangkan objek yang masuk akal seringkali disebut dengan <i>ma’qul</i>.
<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftn16" name="_ftnref16" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[16]</span></span></span></a><i><o:p></o:p></i></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Sedangkan
<i>ta’aqqul</i> berarti aktifitas berpikir berdasarkan pengertian di atas dapat
dipahami bahwa orang yang berakal atau orang yang menggunakan daya akalnya
dengan baik pada dasarnya ia adalah orang yang mampu mengikat hawa nafsunya,
sehingga hawa nafsunya tidak dapat menguasai dirinya. Selain itu, orang yang
berpikir juga akan dapat mengendalikan dirinya terhadap dorongan nafsu dan juga
dapat memahami kebenaran agama. Sebab, orang yang dapat memahami kebenaran
agama hanyalah orang yang tidak dikuasai oleh hawa nafsunya. Adapun sebaliknya
adalah orang yang dikuasai oleh hawa nafsunya tidak dapat memahami agama dengan
baik dan sempurna [Q.S. Muhammad : 16].<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftn17" name="_ftnref17" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[17]</span></span></span></a><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Berdasarkan
penggunaan <i>‘aql</i> dalam berbagai susunannya dapat dijelaskan beberapa
kelompok penggunaannya. Terdapat 14 ayat digunakan untuk memikirkan dalil dan
dasar keimanan. [Q. S : <i>Al-Baqarah</i> : 76, 75, 170, 171. <i>Al-Maidah</i>
: 103, <i>Yunus</i> 100, <i>Hud </i>: 51, <i>Al-Anbiya</i>’ : 67, <i>Al-Furqan </i>:
44, <i>Al-Qasas </i>: 60, <i>Yasin </i>: 62, <i>Al-Zumar</i> :43, <i>Al-Hujurat</i>
: 4, <i>Al-Hashr </i>: 14]. Kemudian dalam 12 ayat kata <i>‘aql</i> digunakan
untuk memikirkan dan memahami alam semesta serta hukum-hukumnya (sunnatullah).
[Q. S. <i>Al-Baqarah</i> : 164, <i>Al-Ra’d </i>: 4, <i>Al-Nahl</i> : 12, 67, <i>Al-Mu’minun
</i>: 78, <i>Al-Syu’ara’</i> : 28, <i>Al-Qasas </i>: 60, <i>Al-Ankabut </i>:
63,<i> Al-Rum </i>: 24, <i>Al-Shaffat </i>: 138, <i>Al-Hadid </i>: 170, <i>Al-Mulk
</i>: 10]. Dalam 8 ayat lainnya, kata <i>‘aql</i> dihubungkan dengan pemahaman
terhadap peringatan dan wahyu Allah  SWT.
[Q. S <i>Yusuf</i> : 2, <i>Al-Baqarah</i> : 32, 44,<i> Ali Imran</i> : 65, <i>Yunus</i>
: 16, <i>Al-Anbiya</i>’ : 10, <i>Al-Zukhruf </i>: 3, <i>Al-Mulk </i>: 10].
Dalam 7 ayat, dihubungkan dengan pemahaman terhadap proses sejarah keberadaan
umat manusia di dunia. [Q. S. <i>Al-Hajj</i> : 45-46,<i> Yusuf</i> : 109,<i>
Hud</i> : 51, <i>Al-Anfal</i> : 22, <i>Yunus</i> : 10, <i>Al-Nur</i> : 61, <i>Yasin</i>
: 68]. Lalu dalam 6 ayat dihubungkan dengan pemahaman terhadap kekuasaan Allah
SWT. [Q. S. <i>Al-Baqarah </i>: 73, 242, <i>Al-An’am </i>: 32, <i>Al-Syu’ara’</i>
: 28, <i>Al-Ankabut </i>: 35,<i> Al-Rum </i>: 28]. Dalam 1 ayat dihubungkan
dengan pemahaman terhadap hukum-hukum yang berkaitan dengan moral. [Q.S. <i>Al-An’am
</i>: 151] Sedangkan dalam 1 ayat dihubungkan dengan pemahaman terhadap makna
ibadah, seperti shalat. [Q. S. Al-Ma’idah : 58].<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftn18" name="_ftnref18" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[18]</span></span></span></a><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 21.3pt; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">C.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-variant-numeric: normal; font-weight: normal; line-height: normal;">   
</span></span></b><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Perbedaan
Jenis Berpikir Dalam Alqur’an<o:p></o:p></span></b></div>
<div style="background: white; line-height: 150%; margin-bottom: 23.45pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<i>Tadzakkur </i>artinya
mengambil pelajaran dan <i>tafakkur </i>berarti memikirkan atau
mengamati. <i>Tadzakkur </i>yang menjadi tempat persinggahan hati
merupakan pasangan <i>inabah. </i>Allah befirman, <i>“Dan,
tiadalah yang mau mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang kembali (kepada
Allah).” </i>(Al-Mukmin: 13).<i>Tadzakkur </i>ini merupakan sifat
yang khusus bagi orang-orang yang mau berpikir dan berakal, sebagaimana
firman-Nya,<i>“Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil
pelajaran.” (ArRa’d: </i>19).<b> </b><i>Adzakkur </i>dan <i>tafakkur </i>merupakan
dua tempat persinggahan yang membuahkan berbagai macam ma’rifat, hakikat iman
dan kebajikan.<i> <o:p></o:p></i></div>
<div style="background: white; line-height: 150%; margin-bottom: 23.45pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<i>Tadzakkur </i>merupakan
wujud, karena ia ada setelah ada <i>tafakkur, </i>yang bisa hilang
karena lupa. Jika ingat, maka <i>tadzakkur </i>ini pun ada.<i>Tadzakkur </i><span style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial; background-repeat: initial; background-size: initial;">merupakan kata aktiva dari <i>dzikr </i>(ingat), kebalikan
dari lupa. Artinya hadirnya gambaran sesuatu yang diingat dan diketahui di
dalam hati. Kedudukan <i>tadzakkur </i>di samping <i>tafakkur </i>sama
dengan kedudukan perolehan sesuatu yang dituntut setelah memeriksa dan
menyelidikinya. Karena itu ayat-ayat Allah yang dibaca dan dapat disaksikan
merupakan peringatan, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat-Nya yang
dibaca, <i>“Dan, sesungguhnya telah Kami berikan petunjuk kepada Musa, dan
Kami wariskan Taurat kepada Bani Israel, agar menjadi petunjuk dan peringatan
bagi orang-orang yang berpikir.” </i>(Al-Mukmin: 53-54).</span><o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 150%; margin-bottom: 23.45pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Allah befirman dalam ayat-ayat-Nya yang bisa disaksikan, <i>“Maka
apakah mereka tidak melihat langit yang ada di atas mereka,bagaimana Kami
meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai
retak-retaksedikitpun? Dan, Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya
gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang
indah dipandang mata, untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap
hamba yang kembali (mengingat Allah).” </i>(Qaf: 6-8).<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftn19" name="_ftnref19" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="color: black; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[19]</span></span></span></a><o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<strong><span style="font-weight: normal;">Tadabbur</span></strong> adalah salah satu cara untuk memahami Al-Qur’an.
Kitab-kitab Tafsir yang kita kenal dan kita baca sekarang adalah hasil usaha
yang optimal dari para ulama dalam mentadabburi dan memahami Aquran.<o:p></o:p></div>
<div style="background: white; line-height: 150%; margin-bottom: 15.05pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-align: justify;">
Tadabbur menurut bahasa berasal dari kata دبــر yang
berarti menghadap, kebalikan membelakangi. Tadabbur menurut ahli bahasa Arab
adalah الـتـفـكّـر memikirkan. Maka, tadabbur bisa berarti memikirkan akibat
dari sesuatu atau memikirkan maksud akhir dari sesuatu. Sedangkan, tadabbur
menurut istilah adalah “penelaahan universal yang bisa mengantarkan kepada
pemahaman optimal dari maksud suatu perkataan “.Tadabbur (penelaahan) Al-Qur’an
diperintahkan oleh Allah swt dan ini adalah salah satu cara berinteraksi
(ta’amul) dengan Al-Qur’an. Allah berfirman pada surat As Shaad : 29. Artinya :
“Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang
yang mempunyai pikiran.”Kemudian Allah SWT menjelaskan bahwa Dia telah
menurunkan Alquran kepada Rasulullah dan pengikut-pengikutnya. Alquran itu
adalah kitab yang sempurna mengandung bimbingan yang sangat bermanfaat kepada
umat manusia. Bimbingan itu menuntun agar hidup sejahtera di dunia dan
berbahagia di akhirat. Dengan merenungkan isinya, manusia akan menemukan
cara-cara mengatur kemaslahatan hidup di dunia. Tamsil ibarat dan kisah dari
umat terdahulu menjadi pelajaran dalam menempuh tujuan hidup mereka dan
menjauhi rintangan dan hambatan yang menghalangi. Alquran itu diturunkan dengan
maksud agar direnungkan kandungan isinya, kemudian dipahami dengan pengertian yang
benar, lalu diamalkan sebagaimana mestinya. Pengertian yang benar diperoleh
dengan jalan mengikuti petunjuk-petunjuk Rasul, dengan dibantu oleh Ilmu
Pengetahuan yang dimiliki, baik yang berhubungan dengan bahasa ataupun yang
berhubungan dengan perkembangan kemasyarakatan. Begitu pula dalam mendalami
petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam kitab itu, hendaknya dilandasi tuntunan
Rasul serta berusaha untuk menyemarakkan pengalamannya dengan ilmu pengetahuan
hasil pengalaman dan pemikiran mereka.<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftn20" name="_ftnref20" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="color: black; font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[20]</span></span></span></a><o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormalCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin-left: 22.3pt; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">D.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-variant-numeric: normal; font-weight: normal; line-height: normal;">    </span></span></b><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Berpikir  Kritis dalam Islam<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Islam,
bukanlah agama tanpa akal. Banyak ayat yang mewakili <i>statement</i>
pemakalah.  Kehadiran akal untuk
menimbang,  bagaimana ada upaya berpikir
secara kritis  dengan landasan yang dapat
dipertanggung jawabkan. Dalam konsep Islam dan 
sejarah yang di tuangkan Al-Quran dan hadis, banyak informasi  yang menerangkan bahwa manusia dituntut
berpikir kritis. Kisah  dialog malaikat
dengan Allah, terkait penciptaan Adam. Kisah 
Musa yang berguru  dengan nabi
Khadir, itu bagian yang tidak bisa diabaikan dalam  menggambarkan 
sikap kritis para tokoh di dalamnya.. 
Sebab berpikir krtis juga mempunyai tujuan untuk mendekati Allah dan
menjalankan syariatmya dengan baik dan benar.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Taufik
Hidayat dalam jurnalnya meng analisis terhadap ayat-ayat dengan term Al-Fikr (<span dir="RTL" lang="AR-SA">الفكر</span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR"></span>), menemukan tujuan berpikir dalam
Al-Al-Quran sebagai berikut: a. Mendapatkan Kebenaran; Berdasarkan asbab nuzul
surah <i>Al-Mudaṡṡir</i> ayat 18, ayat ini mengecam sikap Al-Walid Al-Mugirah
yang telah berpikir jernih dan menemukan kebenaran namun malah berpaling karena
dorongan nafsu dan duniawi.<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftn21" name="_ftnref21" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[21]</span></span></span></a>
Maka dari itu tujuan berpikir yaitu agar menemukan kebenaran sebagaimana yang
sempat dirasakan Al-Walid walaupun pada akhirnya ia malah berpaling, padahal
sempat berpikir dengan baik dan mendapatkan kebenaran. Surah <i>Al-Arf </i>ayat
176 juga terdapat kaitannya dengan Al-Mudaṡṡir ayat 18 karena mengecam orang
yang menuruti hawa nafsunya, padahal seandainya ia tidak mengikuti hawa nafsu
kemudian mengikuti kebenaran niscaya Allah akan meninggikan derajatnya.<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftn22" name="_ftnref22" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[22]</span></span></span></a>
Begitulah yang terjadi terhadap Al-Walid. Allh memerintahkan untuk menceritakan
kisah-kisah tersebut agar dipikirkan sehingga mendapatkan kebenaran. Dalam
surah Al-An’m ayat 50, ayat ini memerintahkan manusia berpikir agar mendapatkan
kebenaran dan terhindar dari kesesatan/takhayul. Ayat ini berusaha meluruskan
pandangan sesat kaum Quraisy tentang kenabian, maka mereka diperintahkan untuk
berpikir kembali. Bahkan Allah menyindir bahwa tidak sama orang yang berpikir
dengan yang tidak, ibarat orang yang buta dengan orang yang melihat.<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftn23" name="_ftnref23" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[23]</span></span></span></a>Dalam
surah An-Nal ayat 44 ditemukan bahwa ayat ini merupakan penegasan kenabian
supaya mereka memikirkannya sehingga dapat mengetahui kebenaran tentang apa
yang dibawa rasul pada mereka yaitu wahyu dan syariat. Apa yang dibawa rasul
adalah peringatan dan membawa kebaikan, maka hendaklah mereka memikirkannya.<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftn24" name="_ftnref24" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[24]</span></span></span></a>
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">b.
Mengamalkan Syariat Islam; Sebelum mengamalkan syariat Islam, manusia harus
meyakini terlebih dahulu bahwa syariat Islam adalah benar begitupun dengan
orang yang membawa risalahnya. Al-Qur’an mengajak manusia memikirkan bahwa Nabi
Muhammad Saw adalah benar bukanlah pendusta. <i>Al-Arf</i> ayat 184 membantah
tuduhan buruk kaum Quraisy terhadap Nabi Muhammad Saw.<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftn25" name="_ftnref25" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[25]</span></span></span></a>
Surah Saba’ ayat 46 mengajak mereka untuk memikirkan kembali siapa sebenarnya
Nabi Muhammad Saw (Hamka, 1988, hlm. 190).<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftn26" name="_ftnref26" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[26]</span></span></span></a><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">            <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kesimpulan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Islam
adalah agama kritis. Dia bukan hanya sesuai dengan kehidupan manusia, tapi
Islam juga memahami seluk belumnya. Islam disebut juga sebagai agama rahmatil
alamin, karena  nilai –nilai yang
terkandung didalmnya mengajak manussia sesuai dengan fitrah. Inilah yang
membedakan Islam dengan agama lain, yang bersifat doctrinal.  Sedangkan agama Islam membuka dirinya untuk
didiskusikan dan diuji kebenaran. Walaupaun ada wilayah tertentu iman lebih
dikedepankan, namun  agama sejalan
dengan  potensi manusia dan nilai luhur
yang ditanamkan padanya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Islam
adalah satu-satunya mengajak umat untuk berpikir kritis. Ini yang sangat
menarik. Dimana agama lain, menutup ruang dialog dan  kritis, tapi tidak bagi Islam, Bahwa  bahyak ayat Al-Quran yang   mengajak manusia untuk berpikir,  terkadang Allah   menyendir manusia yang tidak menggunakan
akal fikiran.  Manusia diberikan akal
sebagai senjata utama dalam menimbang dan menilai sesuatu, dengan didorong oleh
kita suci  dan sunnah rasul,  Allah 
mengarahkan   manusia menggunakan
semua daya yang dimiliki untuk  menemukan
jati dirinya dan Allah melalui ciptaan. Menerima sesuatu tanpa mengunakan akal
dikecam oleh Allah. Dengan demikian 
berpikir dan beriman satu bagian yang saling mendukung. Tidak ada
larangan  utuk hal ini. Namun untuk  menjaga nalar tidak bebas dan liar tanpa
kontrol, diperlukan unsur agama. Umumnya setiap agama mempunyai sumber ajaran.
Dalam konteks Islam sumber ajaran umat adalah Al-Quran. Jika Akal  diupayakan untuk mengetahui  sebuah kebenaran otentik dengan cara berpikir
kritis, maka agama menjadi  jaminan dan
menuntun  kegelisahan  pikiran agar tidak   keluar jalur fitrah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">DAFTAR
PUSTAKA<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -31.5pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">As
Sirjani, Raghib. <i>Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia.</i> Jakarta: Alkautsar,
2012..<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -31.5pt;">
<br /></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Al-Ashfahany,
Al- Raghib. <i>Al Mufradat Fi Gharib Al Quran.</i> Beirut: Nadzar Al Mustafa
al-Baz, tt.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -31.5pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Al-Jazairi.
<i>Tafsir Al-Quran Al-Aisar, </i>Suratman, Penerj. Jakarta: Darus Sunnah Press,
2010. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Hamka. <i>Tafsir Al-Azhar.</i>
Jakarta: Panji Mas, 1993.. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -31.5pt;">
<br /></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Hidayat,Taufik. <i>Konsep
Berpikir (Al-Fikr) Dalam Alquran  Dan
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Pai 
Di Sekolah (Studi Tematik tentang Ayat-ayat yang Mengandung Term
al-Fikr)</i>  Tarbawi, Vol. 3, Nomor 1,
2016.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -31.5pt;">
<br /></div>
<div class="MsoFootnoteText">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">http://www.fimadani.com/tadzakkur-dan-tafakkur/
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoFootnoteText">
<br /></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">https://d1399.wordpress.com/2012/05/11/tadabbur-dan-tafakur/
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -31.5pt;">
<br /></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -31.5pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Ismail,
Muhammad “<i>Konsep Berpikir Dalam AL-Quran Dan Implikasinya  Terhadap Pendidikan Akhlak</i>,” dalam
Ta’dib, vol.XIX, no.02, edisi Nopember 2014..<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Ibn Faris,Ahmad. <i>Mu’jam  Maqayis Al- Lughah.</i> Dar-Al-Fikri,1979.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Khuttub<span class="MsoFootnoteReference">, </span>Sayyid. <i>Tafsir Fizhilalil Quran. </i>Jakarta:
Gema Insani, 2000.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Mandzur,Ibn.  <i>Lisan Al-Arab.</i> Al-Qahirah:
Dar-Almarif,1979.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Shihab, Quraish. <i>Tafsir
al-Mishbah.</i> Jakarta: Lentera Hati, 2009.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<br />
<div>
<br clear="all" />

<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[1]</span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Raghib As Sirjani, <i>Sumbangan
Peradaban Islam Pada Dunia</i> (Jakarta: Alkautsar, 2012) h. 103.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn2">

<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftnref4" name="_ftn4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[4]</span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> 
Muhammad Ismail, “<i>Konsep Berpikir Dalam AL-Quran Dan
Implikasinya  Terhadap Pendidikan Akhlak</i>,”
dalam Ta’dib, vol.XIX, no.02, edisi Nopember 2014, h. 293.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn5">

<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftnref5" name="_ftn5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[5]</span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Al- Raghib Al-Ashfahany, <i>Al
Mufradat Fi Gharib Al Quran</i> ( Beirut: Nadzar Al Mustafa al-Baz, tt), h.237.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn6">

<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftnref6" name="_ftn6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[6]</span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";">Ismail, <i>Konsep Berpikir</i>,
h. 293<i>.</i> <o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn7">

<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftnref7" name="_ftn7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[7]</span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";">Sayyid Khuttub,<i>Tafsir Fizhilalil
Quran </i>(Jakarta: Gema Insani, 2000), h.168.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif";">Ismail,<i> Konsep Berpikir</i>,
h. 293.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn8">

<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftnref9" name="_ftn9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[9]</span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Ismail, <i>Konsep berpikir</i>,
h. 294-295 <o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn10">

<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftnref10" name="_ftn10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[10]</span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";">Al-Ashfahani, <i>Al Mufrodat</i>,
h.496. <o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn11">

<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftnref11" name="_ftn11" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[11]</span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Ismail, <i>Konsep Berpikir</i>,
h. 296. <o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn12">

<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftnref12" name="_ftn12" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[12]</span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";">Ibn Mandzur, <i>Lisan Al-Arab</i>
(Al-Qahirah: Dar-Almarif,1979), h. 1321. <o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn13">

<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftnref13" name="_ftn13" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[13]</span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Ahmad Ibn Faris, <i>Mu’jam  Maqayis Al- Lughah</i> (Dar-Al-Fikri,1979),
h. 325.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn14">

<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftnref14" name="_ftn14" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[14]</span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";">Ismail, <i>Konsep Berpikir</i>,
h. 300. <o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn15">

<div class="MsoFootnoteText" style="text-indent: 36.0pt;">
<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftnref19" name="_ftn19" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US;">[19]</span></span></span></a> http://www.fimadani.com/tadzakkur-dan-tafakkur/
diakses, tanggal 20 Juli 2017</div>
</div>
<div id="ftn20">

<div class="MsoFootnoteText" style="text-indent: 36.0pt;">
<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftnref20" name="_ftn20" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-family: Arial; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US;">[20]</span></span></span></a> https://d1399.wordpress.com/2012/05/11/tadabbur-dan-tafakur/
diakses 20  Juli 2017</div>
</div>
<div id="ftn21">

<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftnref21" name="_ftn21" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[21]</span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";">Hamka, <i>Tafsir Al-Azhar</i> (
Jakarta: Panji Mas, 1993), h. 209. <o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn22">

<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftnref22" name="_ftn22" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[22]</span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";">Al-Jazairi, <i>Tafsir Al-Quran
Al-Aisar, </i>Suratman, Penerj. (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2010), h. 212. <o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn23">

<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftnref23" name="_ftn23" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[23]</span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Quthb, <i>Tafsir Fi Dzilalil,</i>
h.93. <o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn24">

<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftnref24" name="_ftn24" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[24]</span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"> Taufik Hidayat, <i>Konsep
Berpikir (Al-Fikr) Dalam Alquran  Dan
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Pai 
Di Sekolah (Studi Tematik tentang Ayat-ayat yang Mengandung Term
al-Fikr)</i>  Tarbawi, Vol. 3, Nomor 1,
2016, h. 3.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn25">

<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftnref25" name="_ftn25" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif";"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[25]</span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif";">Quraish Shihab, <i>Tafsir
al-Mishbah</i> (Jakarta: Lentera Hati, 2009),  h.327. <o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn26">

<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<a href="file:///D:/revisi%20makalah%20berfikir%20dalam%20islam%20%20zailani.doc#_ftnref26" name="_ftn26" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[26]</span></span></span></span></a><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">
Hamka, <i>Tafsir</i>, h.190.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
</div>
</div>

BERPIKIR DALAM ISLAM

Zailani 0 pendidikan 18.19.00

A. PENDAHULUAN Islam secara historis adalah agama dibawa oleh semua Nabi. Dari Adam sampai Muhammad semua mempunyai misi yang sama, mentauhidkan Allah. Hanya pada level syariat tidak semua sama. Agama Ini di sempurnakan pada masa Rasul Saw. Islam yang disempurnakan bukan hanya membawa umat kep…

TRADISI SUFI DI SEKOLAH

EGOISME BERAGAMA

BERPIKIR DALAM ISLAM

Alquran digital

Formulir Kontak

Popular Posts

Ceramah Agama