0
ZAILANI, MA: DOSEN FAI UMSU
Tempat  Perekat umat adalah masjid. Sebagai tempat ibadah, tentu   mempunyai kemuliaan yang patut dijaga dan dijunjung oleh  segenap umat Islam. Kita memberikan apresiasi  bagi saudara kita yang tiada henti-hentinya  membela hak-hak beribadah dan menjaga kesucian masjid sebagai sarana tempat peribadatan umat Islam. Sudah  Sepantasnya   perusahaan- perusahaan besar   yang memiliki karyawan muslim menyediakan fasilitas ibadah yang representatif sebagai tempat menenangkan diri dan memberikan ruang dan waktu untuk menjalankan kewajiban suci mereka.  Hal ini juga berlaku sama dengan  plaza-plaza  atau  pusat-pusat perbelanjaan. Dengan rela memberikan wadah yang “layak”, untuk menjalankan kewajiban  bagi orang yang berada di dalamnya.
Saat Rasul  hijrah, masjid yang pertama kali dibangun Rasul adalah Quba. Setelah itu  Masjid Nabawi, yang  berada di Madinah. Bangunan fisik masjid ini masih sangat sederhana, lantainya tanah, dinding dan atapnya pelepah kurma.   Masjid tersebut menjadi  pusat pembinaan rohani,  rumah Rasul yang berdekatan dengan masjid, menjadi tanda  bahwa Rasul ingin menjadikan masjid  sebagai tempat utama dalam mengawal umat Islam, dan memantau perkembangan keimanan dari masing- masing sahabatnya. Bahkan jika ada sahabat dalam beberapa kali kesempatan tidak hadir, tentu Rasul akan menanyakan  ihwal tersebut kepada sahabat yang lain. Rasul mengawal keuntuhan umat melalui Masjid.
Bingkai umat dirajut oleh Nabi diawali dengan menyulam qalbu para sahabat dengan melaksanakan sholat lima waktu berjamaah di masjid. Firman Allah, swt, artinya: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut namaNya di waktu pagi dan petang, orang-orang yang tidak dilalaikan oleh urusan bisnis dan perdagangan atau aktivitas apapun dari mengingat Allah, mendirikan shalat, membayarkan zakat, mereka takut akan suatu hari, di mana pada hari itu hati dan penglihatan menjadi guncang” (QS. Annur;36-37. Secara fisik, kondisi masjid  Nabawi pada periode awal tidak terlihat kemegahan dan kilauan cahaya yang terang benderang. Namun dari tempat yang sederhana itulah Rasul beranjak dan mendeklarasikan kekuatan umat Islam.  Konteks tersebut memberikan penilaian sama penulis,  bahwa pembangunan “ala” Rasul  lebih menitik-beratkan peningkatan sumber daya manusia, pembinaan mental dan pendewasaan keimanan  daripada pembangunan  bangunan fisik masjid itu sendiri. Padahal kita tahu karakter orang Madinah setia dan gemar berinfak  apalagi sebagian dari mereka telah mengikuti baiat, ingin membantu Rasul dalam perjuangan. Artinya tidak sulit bagi Rasul untuk meminta orang kaya muslim  Madinah untuk  membuat masjid tersebut dengan bangunan yang kokoh. Hal itu berbeda jauh dengan sebagian kondisi masjid sekarang. Bermegah-megahan dalam pembangunan   masjid tapi kering dari aktivitas spritual dan Jauh dari  pembinaan ruhiyah. 

Masjid sebenarnya merupakan “kolam-kolam spiritual” yang akan menghilangkan dahaga spiritual setiap muslim. Setiap orang yang memasukinya merasa ketenangan, kedamaian dan menghilangkan pikiran  negatif. Masjid sebenarnya mampu menjadi medan magnet yang kuat dalam  mengarahkan umat kepada suatu poros  sesuai dengan kehendak ilahi. Pekikan azan senandung zikir dan gerakan shalat menjadi suatu kombinasi  dan hormoni  suci. Dari rangkain ibadah tersebut terbentuk  nilai luhur. Tidak ada kata lain masjid harus tetap menjadi pemersatu umat. Ibarat Palu, Masjid menjadi penghancur perbedaan,  ras dan suku. Mengingat salah satu fungsi natural masjid sebagai wadah  kontemplasi  dan  seiring kegelisahan manusia modern dalam menghadapi perkembangan zaman maka suatu keniscayaan  masjid menduduki peran strategis dalam mengemban misi tersebut. Peran masjid yang lain adalah  sebagai tempat pendidikan dan pengajaran. Semasa Nabi  hidup, Masjid Nabawi sering dijadikan  oleh Rasul untuk melakukan kaderisasi para da’i yang nantinya akan dikirim ke berbagai penjuru kota. Nabi juga mendidik para sahabatnya dan mengajarkan ajaran Islam dalam berbagai aspek kehidupan.  Masjid  juga digunakan sebagai tempat membaca puisi-puisi ruhiyah yang memuji Allah dan RasulNya, sehingga Nabi mempunyai penyair yang terkenal yaitu Hasan bin Tsabit. Masjid ketika itu menjadi pusat pengembangan kebudayaan dalam semua aspek kehidupan.  Tidaklah mengherankan kalau pada masa selanjutnya masjid menjadi pusat berkembangnya ilmu-ilmu keislaman. Misalnya, universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, yang terkenal itu, pada mulanya merupakan kegiatan belajar di masjid Al-Azhar yang dibangun pada masa dinasti Fatimiyah. Berarti tidak ada kekuatan umat Islam apabila pemeluknya  menjauhkan dirinya dari masjid. Atau membonsai peran masjid hanya sebatas ibadah khusus.  Di era  modern ini  kita tidak menafikan,  masjid juga dijadikan tempat meneguk mutiara hikmah dari ajaran Islam itu sendiri. Tapi kelemahan dalam beberapa kasus  pengajaran dan pendidikan (baca:Majelis Talim) yang ada di masjid, materi- materi yang disampaikan tidak  sewarna dengan kebutuhan umat dalam kehidupan.  Padahal disitulah letak  fungsi dari Tarbiyatul Islam tersebut. Diteropong dari sudut pandang kurikulum dan materi masih mengikuti selera mubaligh. Akibatnya sering terjadi tumpang tindih pengajaran dari ustadz  lain. Pola ini sedikit demi sedikit harus kita rapikan.   Nazir masjid menjadi “gerbong” restrukturisasi pendidikan dan pengajaran di masjid.  Jadi nazir bukan bertugas  membuka  dan menutup masjid, karena tugas itu cukup  didelegasikan kepada orang yang bertugas sehari-hari menjaga dan memelihara kebersihan masjid. Nazir masjid lebih banyak berperan  sebagai  pembuat kebijakan atau  memelihara dan memakmurkan masjid dengan  berbagai macam agenda tarbiyah. Masjid juga berperan sebagai pusat kegiatan sosial dan ekonomi.  Landasan sejarah bisa dijadikan dalil akan hal itu.  Masjid Nabawi sebagai “pelaku sejarah” dalam hal ini. Di tempat ini dibuat sebuah tenda tempat memberi santuan kepada fakir miskin berupa uang dan makanan. Masalah pernikahan, perceraian, perdamaian dan penyelesaian sengketa masyarakat juga diselesaikan di Masjid. Orang-orang yang terluka dalam peperangan juga diobati di masjid. Sebagai pusat kegiatan-kegiatan ekonomi. Di masjid dibangun  Baitul Mal, dihimpun harta dari orang-orang kaya kemudian didistribusikan kepada fakir miskin dan orang yang membutuhkan uluran dana lainnya.  Agaknya kita  perlu melakukan refromasi, mengembalikan peran masjid ke contoh awal,  Masjid Nabawi. Yang diambil di sini prinsip-prinsip dasar peranan masjid Nabawi  dalam membentuk umat.

Posting Komentar

Dear readers, after reading the Content please ask for advice and to provide constructive feedback Please Write Relevant Comment with Polite Language.Your comments inspired me to continue blogging. Your opinion much more valuable to me. Thank you.