ZAILANI, MA: DOSEN FAI UMSU

Saat Rasul hijrah, masjid yang pertama kali dibangun Rasul
adalah Quba. Setelah itu Masjid Nabawi,
yang berada di Madinah. Bangunan fisik masjid ini masih sangat sederhana,
lantainya tanah, dinding dan atapnya pelepah kurma. Masjid tersebut menjadi pusat pembinaan rohani, rumah Rasul yang berdekatan dengan masjid, menjadi
tanda bahwa Rasul ingin menjadikan
masjid sebagai tempat utama dalam
mengawal umat Islam, dan memantau perkembangan keimanan dari masing- masing
sahabatnya. Bahkan jika ada sahabat dalam beberapa kali kesempatan tidak hadir,
tentu Rasul akan menanyakan ihwal
tersebut kepada sahabat yang lain. Rasul mengawal keuntuhan umat melalui
Masjid.
Bingkai umat dirajut oleh Nabi
diawali dengan menyulam qalbu para sahabat dengan melaksanakan sholat lima
waktu berjamaah di masjid. Firman Allah, swt, artinya: “Bertasbih kepada
Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut
namaNya di waktu pagi dan petang, orang-orang yang tidak dilalaikan oleh urusan
bisnis dan perdagangan atau aktivitas apapun dari mengingat Allah, mendirikan
shalat, membayarkan zakat, mereka takut akan suatu hari, di mana pada hari itu
hati dan penglihatan menjadi guncang” (QS. Annur;36-37. Secara fisik, kondisi
masjid Nabawi pada periode awal tidak
terlihat kemegahan dan kilauan cahaya yang terang benderang. Namun dari tempat
yang sederhana itulah Rasul beranjak dan mendeklarasikan kekuatan umat
Islam. Konteks tersebut memberikan
penilaian sama penulis, bahwa
pembangunan “ala” Rasul lebih
menitik-beratkan peningkatan sumber daya manusia, pembinaan mental dan
pendewasaan keimanan daripada
pembangunan bangunan fisik masjid itu
sendiri. Padahal kita tahu karakter orang Madinah setia dan gemar berinfak apalagi sebagian dari mereka telah mengikuti
baiat, ingin membantu Rasul dalam perjuangan. Artinya tidak sulit bagi Rasul
untuk meminta orang kaya muslim Madinah
untuk membuat masjid tersebut dengan
bangunan yang kokoh. Hal itu berbeda jauh dengan sebagian kondisi masjid
sekarang. Bermegah-megahan dalam pembangunan
masjid tapi kering dari aktivitas spritual dan Jauh dari pembinaan ruhiyah.
Masjid sebenarnya merupakan
“kolam-kolam spiritual” yang akan menghilangkan dahaga spiritual setiap muslim.
Setiap orang yang memasukinya merasa ketenangan, kedamaian dan menghilangkan
pikiran negatif. Masjid sebenarnya mampu
menjadi medan magnet yang kuat dalam
mengarahkan umat kepada suatu poros
sesuai dengan kehendak ilahi. Pekikan azan senandung zikir dan gerakan
shalat menjadi suatu kombinasi dan
hormoni suci. Dari rangkain ibadah
tersebut terbentuk nilai luhur. Tidak
ada kata lain masjid harus tetap menjadi pemersatu umat. Ibarat Palu, Masjid
menjadi penghancur perbedaan, ras dan
suku. Mengingat salah satu fungsi natural masjid sebagai wadah kontemplasi
dan seiring kegelisahan manusia
modern dalam menghadapi perkembangan zaman maka suatu keniscayaan masjid menduduki peran strategis dalam
mengemban misi tersebut. Peran masjid yang lain adalah sebagai tempat pendidikan dan pengajaran.
Semasa Nabi hidup, Masjid Nabawi sering
dijadikan oleh Rasul untuk melakukan
kaderisasi para da’i yang nantinya akan dikirim ke berbagai penjuru kota. Nabi
juga mendidik para sahabatnya dan mengajarkan ajaran Islam dalam berbagai aspek
kehidupan. Masjid juga digunakan sebagai tempat membaca puisi-puisi
ruhiyah yang memuji Allah dan RasulNya, sehingga Nabi mempunyai penyair yang
terkenal yaitu Hasan bin Tsabit. Masjid ketika itu menjadi pusat pengembangan
kebudayaan dalam semua aspek kehidupan. Tidaklah mengherankan kalau pada
masa selanjutnya masjid menjadi pusat berkembangnya ilmu-ilmu keislaman.
Misalnya, universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, yang terkenal itu, pada mulanya
merupakan kegiatan belajar di masjid Al-Azhar yang dibangun pada masa dinasti
Fatimiyah. Berarti tidak ada kekuatan umat Islam apabila pemeluknya menjauhkan dirinya dari masjid. Atau
membonsai peran masjid hanya sebatas ibadah khusus. Di era modern ini
kita tidak menafikan, masjid juga
dijadikan tempat meneguk mutiara hikmah dari ajaran Islam itu sendiri. Tapi
kelemahan dalam beberapa kasus
pengajaran dan pendidikan (baca:Majelis Talim) yang ada di masjid,
materi- materi yang disampaikan tidak
sewarna dengan kebutuhan umat dalam kehidupan. Padahal disitulah letak fungsi dari Tarbiyatul Islam tersebut. Diteropong dari sudut pandang kurikulum
dan materi masih mengikuti selera mubaligh. Akibatnya sering terjadi tumpang
tindih pengajaran dari ustadz lain. Pola
ini sedikit demi sedikit harus kita rapikan.
Nazir masjid menjadi “gerbong” restrukturisasi pendidikan dan pengajaran
di masjid. Jadi nazir bukan
bertugas membuka dan menutup masjid, karena tugas itu cukup didelegasikan kepada orang yang bertugas
sehari-hari menjaga dan memelihara kebersihan masjid. Nazir masjid lebih banyak
berperan sebagai pembuat kebijakan atau memelihara dan memakmurkan masjid dengan berbagai macam agenda tarbiyah. Masjid juga
berperan sebagai pusat kegiatan sosial dan ekonomi. Landasan sejarah bisa dijadikan dalil akan hal
itu. Masjid Nabawi sebagai “pelaku sejarah”
dalam hal ini. Di tempat ini dibuat sebuah tenda tempat memberi santuan kepada
fakir miskin berupa uang dan makanan. Masalah pernikahan, perceraian,
perdamaian dan penyelesaian sengketa masyarakat juga diselesaikan di Masjid.
Orang-orang yang terluka dalam peperangan juga diobati di masjid. Sebagai pusat
kegiatan-kegiatan ekonomi. Di masjid dibangun Baitul Mal, dihimpun harta
dari orang-orang kaya kemudian didistribusikan kepada fakir miskin dan orang
yang membutuhkan uluran dana lainnya. Agaknya kita
perlu melakukan refromasi, mengembalikan peran masjid ke contoh awal, Masjid Nabawi. Yang diambil di sini
prinsip-prinsip dasar peranan masjid Nabawi
dalam membentuk umat.
Posting Komentar
0 komentar
Dear readers, after reading the Content please ask for advice and to provide constructive feedback Please Write Relevant Comment with Polite Language.Your comments inspired me to continue blogging. Your opinion much more valuable to me. Thank you.